Selasa, 06 Juni 2017

MURJI’AH (MODERAT DAN EKSTRIM)

MURJI’AH
( MODERAT DAN EKSTRIM )
Disusun Guna Memenuhi Tugas Ujian Akhir Semester (UAS)
Mata Kuliah : Ilmu Kalam
Dosen Pengampu : Drs. H. Masdi, S.Ag



Disusun Oleh :

Muhammad Ashim Abdul Jalil
(1530210021)

 


PROGRAM STUDI ILMU AQIDAH
JURUSAN USHULUDDIN
SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI (STAIN) KUDUS

TAHUN AKADEMIK 2017








BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Permulaan dari perpecahan umat Islam, boleh dikatakan sejak wafatnya Nabi. Tetapi perpecahan itu menjadi reda, karena terpilihnya Abu Bakar menjadi khalifah. Demikianlah berjalan masa-masa kekhalifahan Abu Bakar, Umar,  dalam kubu persatuan yang erat dan persaudaraan yang mesra. Dalam masa ketiga khalifah itulah dipergunakan kesempatan yang sebaik-baiknya dan mengembangkan Islam ke seluruh alam. Tetapi setelah Islam meluas kemana-mana, tiba-tiba diakhir khalifah Utsman, terjadi suatu cedera yang ditimbulkan oleh tindakan Utsman yang kurang disetujui oleh pendapat umum. Inilah asalnya fitnah yang membuka kesempatan untuk orang-orang yang lapar kedudukan, menggulingkan pemerintahan Utsman. Semenjak itulah, berpangkalnya perpecahan umat Islam sehingga menjadi beberapa partai atau golongan. Pada pembahasan kali ini penulis akan menjelaskan tentang mazhab Murjiah.

B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana asal-usul kemunculan Murji’ah..?
2. Bagaimana Golongan Murji’ah Moderat dan Ekstrim..?






BAB II
PEMBAHASAN

A. Asal-usul kemunculan Murji’ah
Nama Murji’ah diambil dari kata irja’ atau arja’a yang bermakna penundaan, penangguhan, dan pengharapan. Kata arja’a mengandung pula arti memberi harapan, yakni memberi harapan kepada pelaku dosa besar untuk memperoleh pengampunan dan rahmat Allah. Selain itu, arja’a berarti pula meletakkan dibelakang atau mengemudikan, yaitu orang yang mengemudikan amal dari iman. Oleh karena itu Murji’ah artinya orang yang menunda penjelasan kedudukan seseorang yang bersengketa, yakni Ali dan Muawiyah serta pasukannya masing-masing, ke hari kiamat kelak.
Ada beberapa teori yang berkembang mengenai asal-usul kemunculan Murji’ah. Teori pertama mengatakan bahwa gagasan irja dan arja’ dikembangkan oleh sebagian sahabat dengan tujuan menjamin persatuan dan kesatuan umat Islam ketika terjadi pertikaian politik dan juga bertujuan untuk menghindari sektarianisme. Murji’ah, baik sebagai kelompok politik maupun teologis, diperkirakan lahir bersamaan dengan kemunculan Syi’ah dan Khawarij. Kelompok ini merupakan musuh berat Khawarij.[1]
Harun Nasution, dalam buku : Teologi Islam Aliran-Aliran Sejarah Analisa Perbandingan, mengatakan kata arja’a memang mengandung arti membuat sesuatu mengambil tempat di belakang dalam makna memandang kurang penting. Pendapat bahwa perbuatan kurang penting akhirnya membawa beberapa golongan kaum Murji’ah, sebagai akan dilihat kepada faham-faham yang ekstrim. Arti selanjutnya adalah memberi pengharapan. Orang yang berpendapat bahwa orang Islam yang melakukan dosa besar bukanlah kafir tetapi.
Oleh karena itu ada juga pendapat yang mengatakan bahwa nama Murji’ah diberikan kepada golongan ini. Bukan karena mereka menunda penentuan hukum terhadap orang Islam yang berdosa besar kepada Allah di hari perhitungan kelak, dan bukan pula karena mereka memandang perbuatan mengambil tempat dari iman. Tetapi karena mereka memberi pengharapan bagi orang yang berdosa besar untuk masuk surge. Karena iman menurut kaum ini berada di dalam hati sehingga perbuatan baik atau buruk tidak berguna, tidak bermanfaat atau tidak berpengaruh sama sekali terhadap imannya. tetap mukmin dan dia tidak akan kekal dalam neraka, memang memberi pengharapan bagi yang berbuat dosa besar untuk mendapat rahmat dari Allah.
Murji’ah berpendapat, bahwa seseorang dilarang menentang khalifah, sebab masalah ini adalah masalah Tuhan semata-mata. Dan tidak mau mengambil sikap maupun pendapat, apakah salah atau benar dengan orang-orang yang menerima tahkim. Hal ini karena mengetahui bahwa mereka adalah sahabat Nabi. Murji’ah mengambil sikap netral, tidak memberi perlawanan atau mendukung salah satu dari mereka yang berkecimpung dalam masalah tahkim tersebut. Nama Murji’ah diambil dari kata arja’a yang berarti menangguhkan atau memberi harapan.
Istilah memberi harapan mengandung arti bahwa seseorang yang melakukan maksiat padahal ia seorang mukmin, imannya masih tetap sempurna, sebab, perbuatan maksiat tidak mendatangkan pengaruh buruk terhadap keimanannya, sebagaimana halnya perbuatan taat atau baik yang dilakukan oleh orang-orang kafir, tidak akan mendatangkan faedah terhadap kekufurannya artinya perbuatan tersebut tidak dapat menghapuskan dosa kekafirannya dan bila ia telah Islam, perbuatan tersebut juga tidak bermanfaat, karena ia melakukannya sebelum masuk Islam. Mereka berharap bahwa seseorang mukmin yang melakukan maksiat, ia masih dikatakan mukmin. Dalam artian bahwa dosa sebesar apapun tidak dapat mempengaruhi keimanan seseorang dan keimanan tidak dapat pula mempengaruhi dosa. Dalam arti dosa ya dosa, iman ya iman.
Argumen yang dimajukan kaum Murji’ah ialah bahwa orang Islam yang melakukan dosa besar masih mengucapkan kedua sahadat, tidak ada Tuhan selain Allah dan Muhammad adalah rasul-Nya. Orang serupa ini masih mukmin dan bukan kafir atau musyrik. Orang Islam yang demikian mungkin masih mempunyaai perbuatan-perbuatan baik yang akan menjadi perimbangan bagi dosa besarnya kelak di hari perhitungan. Tuhan bersifat Maha Pemurah dan Maha Pengampun dan mungkin Tuhan mengampuni dosa besar yang dilakukannya di masa hidup sekarang. Di dunia ia tetap mukmin, dan diperlakukan sebagai orang Islam. Karena dalam Islam dianjurkan saling menghormati dan toleransi baik dan hal perbuatan atau pun ibadah.
Murji’ah berpendapat, bahwa seseorang atau golongan dilarang menentang khalifah, sebab masalah khalifah bukanlah urusan manusia, tetapi urusan Tuhan semata-mata. Baik buruknya pemerintahan bukan pula urusan manusia, tetapi terserah kepada Tuhan, sebab masalah itu juga urusan Tuhan. Mereka juga tidak mau mengambil sikap maupun pendapat apakah salah atau benar perbuatan Ali bin Abi Thalib, Muawiyah maupun sahabat-sahabat yang lain. Hal ini karena mengetahui bahwa mereka itu adalah termasuk sahabat Nabi.
Dipandang dari segi politik, golongan Murji’ah ini menguntungkan pemerintahan pada waktu itu (Bani Umayah). Karena dengan ajaran yang demikian maka tidak akan terjadi pemberontakan terhadap pemerintah. Adapun pendapat mereka tentang iman ialah mengenal Tuhan dan rasul-rasul-Nya. Bila seseorang telah mengenal dan mengetahui adanya Tuhan dan para Rasul, sudah cukup sebagai seorang yang beriman. Golongan Murji’ah yang ekstrim beri’tikad bahwa asal orang sudah mengakui dalam hati atas ada dan wujudnya Tuhan dan rasul-rasul-Nya, maka itu sudah disebut mukmin, meskipun sikapnya menghina nabi, al-Qur’an maupun sahabat-sahabat nabi.
Dari uraian ini dapat dilihat bahwa kaum Murji’ah berlainan dengan kaum Khawarij, lebih mementingkan iman atau kenyakinan dari pada amal atau perbuatan. Yang menentukan iman atau tidak Islamnya seseorang adalah imannya dan bukan perbuatannya. Iman itu berada dalam hati, yang tidak bisa diketahui oleh orang lain, kecuali oleh Tuhan dan dirinya sendiri. Orang demikian bila berbuat dosa besar, masih tetap mukmin dan perbuatannya sama sekali tidak dapat mempengaruhi iman yang berada di dalam hati. Perbuatan maksiat juga tidak akan merusak iman, sebagaimana perbuatan taat tidak akan ada manfaatnya bagi orang kafir.[2]

B. Golongan Murji’ah Moderat dan Ekstrim
Kemunculan sekte - sekte dalam kelompok Murji’ah tampaknya di picu oleh perbedaan pendapat (bahkan dalam hal intensitas) di kalangan para pendukung Murji’ah sendiri. Dalam hal ini terdapat problem yang cukup mendasar ketika pengamat mengklasifikasikan sekte - sekte Murji’ah. kesulitannya antara lain adalah ada beberapa tokoh aliran pemikiran tertentu yang diklaim oleh seorang pengamat sebagai pengikut Murji’ah, tetapi tidak diklaim oleh pengikut lain. Tokoh yang dimaksud adalah Washil bin Atha’ tokoh aliran Mu’tazilah dan Abu Hanifah dari Ahlus Sunnah, oleh karena itu Syahrastani seperti dikutip oleh Watt dalam Rosihan ( 2000:60) sebagai berikut :
a. Murji’ah - Khawarij
b. Murji’ah – Qadariyah
c. Murji’ah – Jabariyah
d. Murji’ah Murni
e. Murji’ah Sunni
Sementara itu, Muhammad Imarah menyebukan 12 sekte Murji’ah yaitu ;
a. Al- Jahmiyah, pengikut Jaham bin Ahofwan.
b. Ash – Salihiyah pengikut Abu Musa Ash-Shalahi
c. Al-Yunusiyah pengikut Yunus As- Samry
d. As- Samaryah, pengikut Abu Samr dan Yunus
e. Asy- Syaubaniyah, pengikut Abu Syauban.
f. Al-ghailaniyah, pengikut Abu Marwan Al- Ghailan bin  Marwan Ad-Dimisqy.
g. An- Najriyah, pengikut al- Husain bin Muhammad bin Syabib
h. Al- Hanafiyah, pengikut Abu Hanifah an-Nu’maaan.
i. Asy-Syabibyah, pengikut Muhammad bin Syabib
j. Al-Mu’aziyah, pengikut Muadz ath-Thaumi.
k. Al-Murisiyah, pengikut Basr al-Murisy,
l. Al-Karimiyah, pengikut Muhammad bin Karam As- Sijiztany.
Harun Nasution secara garis besar mengklasifikasikan Murji’ah menjadi dua sekte, yaitu golongan moderat dan golongan ekstrim. Murji’ah moderat berpendirian bahwa pendosa besar tetap mukmin. Tidak kafir tidak pula kekal dalam neraka. Mereka disiksa sebesar dosanya dan bila diampuni Allah sehingga tidak masuk neraka sama sekali. Iman adalah pengetahuan tentang Tuhan dan rasul – rasulnya-Nya serta apa saja yang datang dari-Nya secara keseluruhan namun garis besar iman tidak pula bertambah dan tidak pula berkurang. Tak ada perbedaan manusia dalam hal ini, penggagas pendirian ini adalah Al-hasan bin Muhammad bin Ali bin Abi Thalib, Abu Hanifah, Abu Yusuf dan beberapa ahli Hadits.
Adapun yang termasuk kelompok ektrim adalah Al-Jahmiyah, Ash-Shahiliyah, al-Yunusiyah, Al-Ubaidiyah, dan al-Hasaniyah.
Pandangan tiap kelompok itu dapat dijelaskan sebagai berikut:
1. Yunusiyah
Sekte ini dipimpin oleh Yunus Ibn “Un al-Namiri, mereka berpendapat bahwa iman adalah mengenal Tuhan, tunduk kepadanya, tidak takabur dan cinta kepadanya, bilamana karakteristik tersebut bukan merupakan unsur dari iman, karena itu bila ditinggalkan tidak akan merusak iman. Mereka berpendapat bahwa iblis sebenarnya sangat mengenal Tuhan tetapi karena ia takabur maka ia menjadi kafir. Selanjutnya, mereka mengatakan bilamana dalam hati seseorang telah bersemi rasa ketundukan dan rasa cinta kepada Allah maka perbuatan maksiat apapun tidak bisa merusaknya. Sekalipun begitu orang mukmin masuk surga karena keihlasan serta kecintaanya kepada Tuhan, bukan karena amal serta ketaatannya.
2. Ubaidiyat
Mereka adalah para pengikut dari Ubaid al-Muktaib, sekte ini berpendapat bahwa dosa dan kejahatan yang dilakukan tidak merusak iman, jika seseorang masih dalam keimanan maka dosa dan kejahatan yang dilakukan tidak merusak iman, jika seorang masih dalam keimanan maka dosa dan kejahatan yang dilakukannnya tidak akan merugikan dirinya. Semua dosanya nampaknya dengan jelas akan diampuni Tuhan, hanya satu saja yang tidak diampuni itulah dosa syirik.
3. Ghasaniyat
Tokoh sekte ini adalah Ghasan al-Kufi, ia berpendapat bahwa iman adalah mengenal Allah dan Rasul-nya serta mengakui segala kebenaran dan ketentuan Allah dan rasulnya secara keseluruhan tidak secara parsial. Dan iman itu tidak bisa bertambah dan berkurang. Sementara itu al-Bagdadi (1928:123) menjelaskan pendapat sekte ini mengenai iman sebagai pengikut, iman sebagai pengakuan dan cinta kepada Allah, mengagungkan dengan tidak takabur pada-Nya. Iman bisa bertambah tapi tidak bisa berkurang. sekte ini nampaknya berbeda dengan Yunusiah, sebab menurut sekte ini bahwa setiap unsur dari iman itu adalah merupakan bagian dari iman.
4. Saubaniyah
Mereka pengikut dari Abu Sauban al-Murji’ mereka berpendapat bahwa iman adalah mengenal dan mengakui Tuhan serta rasul-Nya. Mengetahui apa yang secara rasional tidak boleh dikerjakan dan apa yang secara rasional boleh ditinggalkan bukanlah termasuk iman. Dalam pandangan sekte ini amal adalah juga merupakan nomor dua dan iman berbeda dengan Yunusiah dan Ghasaniyah, mereka beranggapan bahwa apa yang menurut pertimbangan akal merupakan suatu kemestian, maka hukumnya wajib meskipun belum ada nasibnya dan Suyari’ ( Bagdadi : 124)
5. Tumaniyah
Tokoh sekte ini Abu Mua’az al-Tumani menurut pendapat mereka iman adalah apa yang terjaga serta terpelihara dari kekufuran. Di dalamnya terkandung beberapa unsur iman, apabila ditinggalkan maka orang yang meninggalkannya menjadi kafir. Setiap unsur dari unsur-unsur iman tersebut bukanlah iman dan bukan pula sebagian iman, unsr - unsur iman tersebut bukan pula sebagian dari iman, unsur -unsur iman itu ialah ma’rifat, tasdiq mahannah, ikhlas serta mengakui tentang kebenaran yang dibawa rasul. Orang yang meninggalkan shalat atau puasa karena mengganggap halal diangngap kufur. akan tetapi kalau meninggalkannya dengan niat mengkodo maka tidaklah pembunuhan yang dilakukan melainkan dari sisi melecehkan,
6. Shalihiyah
Mereka adalah pengikut Shalih ibn Umar al-Shalihi. Mereka berpendapat bahwa iman adalah mengenal Tuhan, ibadat menurut mereka bukanlah amal tetapi iman itu sendiri yaitu mengenal Tuhan. Apa yang dikenal secara umum sebagai ibadah seperti salat puasa dan - lain menurut sekte ini bukan ibadah. Akan tetapi hanya merupakan ketaatan melaksanakan iman. Jadi konklusinya ibadah adalah iman itu sendiri.
7. Hajaria
Sekte ini pengikut dari Husein ibn Muhamad al-Najar menurut mereka iman itu adalah mengenal Allah dan rasulnya disertai ketundukan secara total kepadaNya , diikuti dengan pengajuan melalui perkataan. Semua itu merupakan satu kesatuan integral. Sementara kufur adalah menolak dari elemen-elemen di atas dan taat adalah berupa sikap kemauan melaksanakan elemen-elemen iman tersebut . menurut sekte ini iman itu dapat bertambah tetapi tidak dapat berkurang atau hilang. Sebab iman hanya akan hilang jika ia kafir.
8. Ghailaniyat.
Mereka adalah pengikut Ghailan. Iman menurut sekte ini paling tidak memiliki empat unsur. Yaitu mengenal Allah tidak dengan “ telaah kritis’ maka ma’rifat seperti itu hasilnya bukanlah iman.
9. Karomiyah
Sekte ini adalah pengikut dari Muhammad Ibn Karram. Menurut mereka iman adalah pengakuan dan pembenaran dengan lisian tanpa ketertiban hati. Karena itu ma’rifah dengan hati saja tanpa membenarkan dengan ketertiban secara verbal dari lisan bukanlah iman. Bagi mereka kufur terjadi bila mengingkari secara lisan. Mereka juga berpendapat bahwa kaum munafik yang hidup pada masa rasullah menurut mereka benar-benar sebagai kaum yang beriman. Pandangan ini jelas banyak ditolak orang sebab munafik adalah sebuah term ditujukan bagi seseorang yang sebenarnya kafir tetapi menyembunyikan kekafirannya dengan mengakui iman seecara lisan (muqalat; 199).
Pendapat-pendapat ektrim seperti ini diuraikan diatas timbul dari pengertian bahwa perbuatan dan amal tidaklah sepenting iman yang kemudian meningkat pada pengertian bahwa hanya imanlah yang penting dan menentukan mukmin atau tidak mukmin seseorang. Perbuatan tidak mempunyai pengaruh dengan iman. Letaknya iman di dalam hati. Dan apa yang ada di dalam hati seseorang tidak diketahui manusia lain. Selanjutnya perbuatan manusia tidak selamanya menggambarkan apa yang ada dalam hatinya. Oleh karena itu ucapan-ucapan dan perbuatan seseorang tidak mesti mengenang arti bahwa tidak mempunyai iman, yang penting ialah iman yang di dalam hati. Dengan demikian ucapan dan perbuatan tidak merusak iman seseorang ( Harun Nasution 1998;280 ).
Selanjutnya Harun mengungkapkan bahwa sejarah ini ada bahayanya karena dapat memperlemah ikatan- ikatan moral atau masyarakat yang besifat permissiv, masyarakat yang dapat mentoleler penyimpangan-penyimpangan dari norma-norma akhlak yang berlaku. Karna yang dipentingkan hanyalah iman norma - norma akhlak bisa dipandang penting dan diabaikan oleh orang – orang yang menganut faham demikian.
Murji’ah itu pada akhirnya mengandung arti tidak baik disetujui Tuhan. Ada kemungkinan Tuhan akan mengampuni dosa-dosanya dan akan menyiksanya sesuai dengan dosa - dosa yang dibuatnya dan kemudian baru dimasukkan ke dalam surga, karena tak mungkin akan kekal tinggal di dalam.
Faham yang sama diberikan oleh al-Bagdadi dalam Harun (1986 :29) ketika ia menerangkan bahwa ada tiga macam iman:
1. Iman yang membuat orang keluar dari golongan kafir dan tidak kekal dalam neraka, yaitu mengakui Tuhan, ketika rasul - rasul, kadar baik dan buruk, sifat Tuhan dan segala keyakinan lain yang diakui dalam syariat.
2. Iman yang mewajibkan adanya keadilan dan melenyapkan nama fisik dan seseorang serta melepaskannya dari neraka, yaitu mengerjakannya dari neraka, yaitu mengerjakan segala yang wajib dan menjauhi segala dosa besar.
3. Iman yang membuat sesorang memperoleh prioritas untuk langsung masuk surga tanpa perhitungan, yaitu mengerjakan segala yang wajib serta yang sunat dan menjuhi segala dosanya.
Dari uraian diatas dapat disimpulkan bahwa orang berdosa besar bukanlah kafir, dan tidaklah kekal dalam neraka, orang-orang demikian adalah mukmin dan akhirnya akan masuk surga.
Hal senada diungkapkan tokoh Maturidiyah “al-Bazdawi” dalam Harun (1998 29) sebagai berikut iman adalah kepercayaan dalam hati yang dinyatakan dengan lisan. Kepatuhan - Kepatuhan pada perintah Tuhan merupakan akibat dari kepercayaan atau iman, orang meninggalkan kepatuhan pada Tuhan bukanlah kafir, orang berdosa besar tidak akan kekal dalam neraka sungguhpun ia meninggal dunia sebelum taubat, nasibnya di akhirat terletak pada kehendak Allah; orang demikian mungkin memperoleh dan masuk surga mungkin pada dasarnya tidak diampuni dan oleh karena itu dimasukkan ke dalam surga. Adapun orang yang berdosa kecil dosa-dosa dosa kecilnya akan dihapus oleh kebaikan, shalat dan kewajiban-kewajiban lain yang dijalankan, dengan demikian dosa-dosa besar tidak membuat menjadi kafir dan tidak membuat seseorang keluar dari iman, iman merupakan jaminan bagi seseorang untuk masuk surga dan kepatuhan kepada Tuhanlah yang menentukan derajat yang akan diperoleh seseorang didalamnya, dengan kata lain al-Bazdawi adalah kunci untuk masuk surga, sedang anak akan menentukan tingkatan yang dimasuk seseorang dalam surga , kalau amal banyak tingkatan yang akan diperolehnya tinggi, tetapi jika amal baiknya sedikit derajat yang akan diperolehnya rendah.
Pada bagian akhir dari pembagian sekte ini nampaknya tidak ada salahnya kita singgung sedikit peristilahan Murji’ah yang dikaitkan dengan aliran lain. Nampaknya peristilahan ini karena terdapatnya kecendrungan faham Murji’ah yang beraliansi dengan faham lain, seperti dicontohkan di depan bagaimana beberapa butir faham Murji’ah moderat meresap pada aliran-aliran Ahl-al-Sunnah.[3]





BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
Sebagai sebuah aliran teologi, Murji’ah sudah menghilang dari pentas sejarah, dalam aspek teologi, lontaran gagasan pemikiran teologis Murji’ah sedikitnya memiliki tiga kecendrungn. Pertama, mengilhami lahirnya pemikiran teologis yang bersifat atau bercorak pasif. Kecendrungan kedua, dari kalangan Murji’ah meskipun dianggap mereka menghalang memberikan kecendrungan pada mnculnya gagasan yang sifatnya liberal dalam berteologi, atau bahkan karena ektrimitasnya dapat merimplikasi negatif sampai ke tahap nihilism moral, yang tidak kalah menariknya justru pada kecendrungan ketiga, yaitu menimbulkan semacam doktrin teologi pengharafan maaf.
Dalam aspek politik, sekalipun reputasi dalam memainkan peran politik tak spektakuler: dan kecendrungan pasif mungkin karena pengaruh faham “ al-Irja” tetapi nampaknya juga melahirkan tipologi perilaku politik unik. Kecendrungan prilaku politik yang unik memunculkan juga pendapat yang beragam, dari tipe yang pasif, ada pula nampaknya prilaku adaptif diikuti dengan sikap fleksibilitas dan loyalitas yang tentu tidak semuanya terkemuka dalam sejarah.
Implikasi dan signifikansi terakhir adalah berkaitan dengan kebudayaan dan peradaban. Dalam bidang kebudayaan dan peradaban Murji’ah memang tidak memainkan perana penting. Ini terjadi karena mengakar pada doktrin mereka yang memang tidak atau kurang memiliki potensi untuk itu dengan sikap yang pasif , dibandingkan Mu’tazilah yang rasional.


DAFTAR PUSTAKA

Khawarij, Murji’ah, Jabariyah, Dan Qadariyah Dalam Ilmu Kalam
MURJI’AH DALAM PERSPEKTIF THEOLOGIS Oleh : Sariah Dosen Fakultas Tarbiyah dan Keguruan UIN Suska Riau
Murji’ah dan Konsep Iman



[1] Khawarij, Murji’ah, Jabariyah, Dan Qadariyah Dalam Ilmu Kalam. Hlm. 4-5
[2] Murji’ah dan Konsep Iman. Hlm. 8-10
[3] MURJI’AH DALAM PERSPEKTIF THEOLOGIS Oleh : Sariah Dosen Fakultas Tarbiyah dan Keguruan UIN Suska Riau. Hlm. 9-15

Tidak ada komentar:

Posting Komentar