MURJI’AH
( MODERAT DAN
EKSTRIM )
Disusun Guna
Memenuhi Tugas Ujian Akhir Semester (UAS)
Mata Kuliah : Ilmu
Kalam
Dosen Pengampu
: Drs. H. Masdi, S.Ag
Disusun Oleh :
Muhammad Ashim Abdul Jalil
(1530210021)
PROGRAM STUDI ILMU AQIDAH
JURUSAN USHULUDDIN
SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI
(STAIN) KUDUS
TAHUN AKADEMIK 2017
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Permulaan dari perpecahan umat Islam,
boleh dikatakan sejak wafatnya Nabi. Tetapi perpecahan itu menjadi reda, karena
terpilihnya Abu Bakar menjadi khalifah. Demikianlah berjalan masa-masa
kekhalifahan Abu Bakar, Umar, dalam kubu
persatuan yang erat dan persaudaraan yang mesra. Dalam masa ketiga khalifah
itulah dipergunakan kesempatan yang sebaik-baiknya dan mengembangkan Islam ke
seluruh alam. Tetapi setelah Islam meluas kemana-mana, tiba-tiba diakhir
khalifah Utsman, terjadi suatu cedera yang ditimbulkan oleh tindakan Utsman
yang kurang disetujui oleh pendapat umum. Inilah asalnya fitnah yang membuka
kesempatan untuk orang-orang yang lapar kedudukan, menggulingkan pemerintahan
Utsman. Semenjak itulah, berpangkalnya perpecahan umat Islam sehingga menjadi
beberapa partai atau golongan. Pada pembahasan kali ini penulis akan
menjelaskan tentang mazhab Murjiah.
B.
Rumusan Masalah
1.
Bagaimana asal-usul kemunculan Murji’ah..?
2.
Bagaimana Golongan Murji’ah Moderat dan Ekstrim..?
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Asal-usul kemunculan Murji’ah
Nama Murji’ah diambil dari kata irja’
atau arja’a yang bermakna penundaan, penangguhan, dan pengharapan. Kata arja’a
mengandung pula arti memberi harapan, yakni memberi harapan kepada pelaku dosa
besar untuk memperoleh pengampunan dan rahmat Allah. Selain itu, arja’a berarti
pula meletakkan dibelakang atau mengemudikan, yaitu orang yang mengemudikan
amal dari iman. Oleh karena itu Murji’ah artinya orang yang menunda penjelasan
kedudukan seseorang yang bersengketa, yakni Ali dan Muawiyah serta pasukannya
masing-masing, ke hari kiamat kelak.
Ada beberapa teori yang berkembang
mengenai asal-usul kemunculan Murji’ah. Teori pertama mengatakan bahwa gagasan
irja dan arja’ dikembangkan oleh sebagian sahabat dengan tujuan menjamin
persatuan dan kesatuan umat Islam ketika terjadi pertikaian politik dan juga
bertujuan untuk menghindari sektarianisme. Murji’ah, baik sebagai kelompok
politik maupun teologis, diperkirakan lahir bersamaan dengan kemunculan Syi’ah
dan Khawarij. Kelompok ini merupakan musuh berat Khawarij.[1]
Harun Nasution, dalam buku : Teologi Islam
Aliran-Aliran Sejarah Analisa Perbandingan, mengatakan kata arja’a memang mengandung arti
membuat sesuatu mengambil tempat di belakang dalam
makna memandang kurang
penting. Pendapat bahwa perbuatan kurang penting akhirnya membawa
beberapa golongan kaum Murji’ah, sebagai akan dilihat
kepada faham-faham yang
ekstrim. Arti selanjutnya adalah memberi pengharapan. Orang yang
berpendapat bahwa orang Islam yang melakukan dosa
besar bukanlah kafir tetapi.
Oleh karena itu ada juga pendapat yang mengatakan
bahwa nama Murji’ah
diberikan kepada golongan ini. Bukan karena mereka menunda
penentuan hukum terhadap orang Islam yang berdosa
besar kepada Allah di hari perhitungan kelak, dan bukan pula karena mereka memandang perbuatan
mengambil tempat dari iman. Tetapi karena mereka
memberi pengharapan bagi orang
yang berdosa besar untuk masuk surge. Karena iman menurut kaum ini
berada di dalam hati sehingga perbuatan baik atau
buruk tidak berguna, tidak bermanfaat atau tidak berpengaruh sama sekali terhadap imannya.
tetap mukmin dan dia tidak akan kekal dalam neraka,
memang memberi pengharapan
bagi yang berbuat dosa besar untuk mendapat rahmat dari Allah.
Murji’ah berpendapat, bahwa seseorang dilarang
menentang khalifah, sebab
masalah ini adalah masalah Tuhan semata-mata. Dan tidak mau mengambil
sikap maupun pendapat, apakah salah atau benar dengan
orang-orang yang menerima
tahkim. Hal ini karena mengetahui bahwa mereka adalah sahabat Nabi.
Murji’ah mengambil sikap netral, tidak memberi
perlawanan atau mendukung salah
satu dari mereka yang berkecimpung dalam masalah tahkim tersebut.
Nama Murji’ah diambil dari kata arja’a yang berarti
menangguhkan atau memberi harapan.
Istilah memberi harapan mengandung arti bahwa
seseorang yang melakukan
maksiat padahal ia seorang mukmin, imannya masih tetap sempurna,
sebab, perbuatan maksiat tidak mendatangkan pengaruh
buruk terhadap keimanannya,
sebagaimana halnya perbuatan taat atau baik yang dilakukan oleh
orang-orang kafir, tidak akan mendatangkan faedah
terhadap kekufurannya artinya
perbuatan tersebut tidak dapat menghapuskan dosa kekafirannya dan bila
ia telah Islam, perbuatan tersebut juga tidak
bermanfaat, karena ia melakukannya sebelum masuk Islam. Mereka berharap bahwa seseorang
mukmin yang melakukan
maksiat, ia masih dikatakan mukmin. Dalam artian bahwa dosa
sebesar apapun tidak dapat mempengaruhi keimanan
seseorang dan keimanan tidak
dapat pula mempengaruhi dosa. Dalam arti dosa ya dosa, iman ya iman.
Argumen yang dimajukan kaum Murji’ah ialah bahwa orang
Islam yang melakukan
dosa besar masih mengucapkan kedua sahadat, tidak ada Tuhan selain
Allah dan Muhammad adalah rasul-Nya. Orang serupa ini
masih mukmin dan bukan
kafir atau musyrik. Orang Islam yang demikian mungkin masih
mempunyaai perbuatan-perbuatan baik yang akan menjadi
perimbangan bagi dosa besarnya
kelak di hari perhitungan. Tuhan bersifat Maha Pemurah dan Maha
Pengampun dan mungkin Tuhan mengampuni dosa besar yang
dilakukannya di masa
hidup sekarang. Di dunia ia tetap mukmin, dan diperlakukan sebagai orang
Islam. Karena dalam Islam dianjurkan saling
menghormati dan toleransi baik dan hal perbuatan atau pun ibadah.
Murji’ah berpendapat, bahwa seseorang atau golongan
dilarang
menentang khalifah, sebab masalah khalifah bukanlah
urusan manusia, tetapi urusan
Tuhan semata-mata. Baik buruknya pemerintahan bukan pula urusan
manusia, tetapi terserah kepada Tuhan, sebab masalah
itu juga urusan Tuhan. Mereka
juga tidak mau mengambil sikap maupun pendapat apakah salah atau
benar perbuatan Ali bin Abi Thalib, Muawiyah maupun
sahabat-sahabat yang lain.
Hal ini karena mengetahui bahwa mereka itu adalah termasuk sahabat Nabi.
Dipandang dari segi politik, golongan Murji’ah ini
menguntungkan pemerintahan
pada waktu itu (Bani Umayah). Karena dengan ajaran yang
demikian maka tidak akan terjadi pemberontakan
terhadap pemerintah. Adapun pendapat mereka tentang iman ialah mengenal Tuhan dan rasul-rasul-Nya.
Bila
seseorang telah mengenal dan mengetahui adanya Tuhan
dan para Rasul, sudah cukup
sebagai seorang yang beriman. Golongan Murji’ah yang ekstrim beri’tikad
bahwa asal orang sudah mengakui dalam hati atas ada
dan wujudnya Tuhan dan rasul-rasul-Nya,
maka itu sudah disebut mukmin, meskipun sikapnya menghina nabi, al-Qur’an maupun sahabat-sahabat nabi.
Dari uraian ini dapat dilihat bahwa kaum Murji’ah
berlainan dengan kaum
Khawarij, lebih mementingkan iman atau kenyakinan dari pada amal atau
perbuatan. Yang menentukan iman atau tidak Islamnya
seseorang adalah imannya dan
bukan perbuatannya. Iman itu berada dalam hati, yang tidak bisa diketahui
oleh orang lain, kecuali oleh Tuhan dan dirinya
sendiri. Orang demikian bila berbuat dosa besar, masih tetap mukmin dan perbuatannya sama sekali
tidak dapat mempengaruhi
iman yang berada di dalam hati. Perbuatan maksiat juga tidak akan
merusak iman, sebagaimana perbuatan taat tidak akan
ada manfaatnya bagi orang kafir.[2]
B.
Golongan Murji’ah Moderat dan Ekstrim
Kemunculan sekte - sekte dalam kelompok Murji’ah
tampaknya di picu oleh
perbedaan pendapat (bahkan dalam hal intensitas) di kalangan para
pendukung Murji’ah sendiri. Dalam hal ini terdapat
problem yang cukup mendasar
ketika pengamat mengklasifikasikan sekte - sekte Murji’ah.
kesulitannya antara lain adalah ada beberapa tokoh
aliran pemikiran tertentu
yang diklaim oleh seorang pengamat sebagai pengikut Murji’ah,
tetapi tidak diklaim oleh pengikut lain. Tokoh yang
dimaksud adalah Washil
bin Atha’ tokoh aliran Mu’tazilah dan Abu Hanifah dari Ahlus
Sunnah, oleh karena itu Syahrastani seperti dikutip
oleh Watt dalam Rosihan (
2000:60) sebagai berikut :
a. Murji’ah - Khawarij
b. Murji’ah – Qadariyah
c. Murji’ah – Jabariyah
d. Murji’ah Murni
e. Murji’ah Sunni
Sementara
itu, Muhammad Imarah menyebukan 12 sekte Murji’ah yaitu ;
a. Al- Jahmiyah, pengikut Jaham bin Ahofwan.
b. Ash – Salihiyah pengikut Abu Musa Ash-Shalahi
c. Al-Yunusiyah pengikut Yunus As- Samry
d. As- Samaryah, pengikut Abu Samr dan Yunus
e. Asy- Syaubaniyah, pengikut Abu Syauban.
f. Al-ghailaniyah, pengikut Abu Marwan Al- Ghailan bin
Marwan
Ad-Dimisqy.
g. An- Najriyah, pengikut al- Husain bin Muhammad bin
Syabib
h. Al- Hanafiyah, pengikut Abu Hanifah an-Nu’maaan.
i. Asy-Syabibyah, pengikut Muhammad bin Syabib
j. Al-Mu’aziyah, pengikut Muadz ath-Thaumi.
k. Al-Murisiyah, pengikut Basr al-Murisy,
l. Al-Karimiyah, pengikut
Muhammad bin Karam As- Sijiztany.
Harun Nasution secara garis besar mengklasifikasikan
Murji’ah menjadi dua
sekte, yaitu golongan moderat dan golongan ekstrim. Murji’ah moderat
berpendirian bahwa pendosa besar tetap mukmin. Tidak
kafir tidak pula kekal
dalam neraka. Mereka disiksa sebesar dosanya dan bila diampuni
Allah sehingga tidak masuk neraka sama sekali. Iman
adalah pengetahuan tentang
Tuhan dan rasul – rasulnya-Nya serta apa saja yang datang dari-Nya
secara keseluruhan namun garis besar iman tidak pula
bertambah dan tidak pula
berkurang. Tak ada perbedaan manusia dalam hal ini, penggagas
pendirian ini adalah Al-hasan bin Muhammad bin Ali bin
Abi Thalib, Abu Hanifah,
Abu Yusuf dan beberapa ahli Hadits.
Adapun yang termasuk kelompok ektrim adalah
Al-Jahmiyah, Ash-Shahiliyah, al-Yunusiyah, Al-Ubaidiyah, dan al-Hasaniyah.
Pandangan tiap kelompok itu
dapat dijelaskan sebagai berikut:
1.
Yunusiyah
Sekte ini dipimpin oleh Yunus Ibn “Un al-Namiri,
mereka
berpendapat bahwa iman adalah mengenal Tuhan, tunduk
kepadanya, tidak takabur
dan cinta kepadanya, bilamana karakteristik tersebut bukan merupakan
unsur dari iman, karena itu bila ditinggalkan tidak
akan merusak iman. Mereka
berpendapat bahwa iblis sebenarnya sangat mengenal Tuhan tetapi
karena ia takabur maka ia menjadi kafir. Selanjutnya,
mereka mengatakan bilamana
dalam hati seseorang telah bersemi rasa ketundukan dan rasa
cinta kepada Allah maka perbuatan maksiat apapun tidak
bisa merusaknya. Sekalipun
begitu orang mukmin masuk surga karena keihlasan serta
kecintaanya kepada Tuhan, bukan karena amal serta
ketaatannya.
2.
Ubaidiyat
Mereka adalah para pengikut dari Ubaid al-Muktaib,
sekte ini berpendapat
bahwa dosa dan kejahatan yang dilakukan tidak merusak iman,
jika seseorang masih dalam keimanan maka dosa dan
kejahatan yang dilakukan tidak
merusak iman, jika seorang masih dalam keimanan maka dosa dan
kejahatan yang dilakukannnya tidak akan merugikan
dirinya. Semua dosanya nampaknya
dengan jelas akan diampuni Tuhan, hanya satu saja yang tidak
diampuni itulah dosa syirik.
3.
Ghasaniyat
Tokoh sekte ini adalah Ghasan al-Kufi, ia berpendapat
bahwa iman adalah
mengenal Allah dan Rasul-nya serta mengakui segala kebenaran dan
ketentuan Allah dan rasulnya secara keseluruhan tidak
secara parsial. Dan iman
itu tidak bisa bertambah dan berkurang. Sementara itu al-Bagdadi (1928:123) menjelaskan
pendapat sekte ini mengenai
iman sebagai pengikut, iman sebagai pengakuan dan cinta kepada
Allah, mengagungkan dengan tidak takabur pada-Nya.
Iman bisa bertambah tapi
tidak bisa berkurang. sekte ini nampaknya berbeda dengan Yunusiah,
sebab menurut sekte ini bahwa setiap unsur dari iman
itu adalah merupakan
bagian dari iman.
4.
Saubaniyah
Mereka pengikut dari Abu Sauban al-Murji’ mereka
berpendapat bahwa iman
adalah mengenal dan mengakui Tuhan serta rasul-Nya.
Mengetahui apa yang secara rasional tidak boleh
dikerjakan dan apa yang secara
rasional boleh ditinggalkan bukanlah termasuk iman. Dalam
pandangan sekte ini amal adalah juga merupakan nomor
dua dan iman berbeda
dengan Yunusiah dan Ghasaniyah, mereka beranggapan bahwa apa
yang menurut pertimbangan akal merupakan suatu
kemestian, maka hukumnya wajib
meskipun belum ada nasibnya dan Suyari’ ( Bagdadi : 124)
5.
Tumaniyah
Tokoh sekte ini Abu Mua’az al-Tumani menurut pendapat
mereka
iman adalah apa yang terjaga serta terpelihara dari
kekufuran. Di dalamnya terkandung
beberapa unsur iman, apabila ditinggalkan maka orang yang
meninggalkannya menjadi kafir. Setiap unsur dari
unsur-unsur iman tersebut bukanlah
iman dan bukan pula sebagian iman, unsr - unsur iman tersebut
bukan pula sebagian dari iman, unsur -unsur iman itu
ialah ma’rifat, tasdiq mahannah,
ikhlas serta mengakui tentang kebenaran yang dibawa rasul.
Orang yang meninggalkan shalat atau puasa karena
mengganggap halal diangngap
kufur. akan tetapi kalau meninggalkannya dengan niat mengkodo
maka tidaklah pembunuhan yang dilakukan melainkan dari
sisi melecehkan,
6.
Shalihiyah
Mereka adalah pengikut Shalih ibn Umar al-Shalihi.
Mereka
berpendapat bahwa iman adalah mengenal Tuhan, ibadat
menurut mereka bukanlah
amal tetapi iman itu sendiri yaitu mengenal Tuhan. Apa yang
dikenal secara umum sebagai ibadah seperti salat puasa
dan - lain menurut sekte
ini bukan ibadah. Akan tetapi hanya merupakan ketaatan
melaksanakan iman. Jadi konklusinya ibadah adalah iman
itu sendiri.
7.
Hajaria
Sekte ini pengikut dari Husein ibn Muhamad al-Najar
menurut
mereka iman itu adalah mengenal Allah dan rasulnya
disertai ketundukan secara
total kepadaNya , diikuti dengan pengajuan melalui perkataan. Semua
itu merupakan satu kesatuan integral. Sementara kufur
adalah menolak dari elemen-elemen
di atas dan taat adalah berupa sikap kemauan melaksanakan
elemen-elemen iman tersebut . menurut sekte ini iman
itu dapat bertambah tetapi
tidak dapat berkurang atau hilang. Sebab iman hanya akan hilang jika ia
kafir.
8.
Ghailaniyat.
Mereka adalah pengikut Ghailan. Iman menurut sekte ini
paling tidak memiliki
empat unsur. Yaitu mengenal Allah tidak dengan “ telaah kritis’
maka ma’rifat seperti itu hasilnya bukanlah iman.
9.
Karomiyah
Sekte ini adalah pengikut dari Muhammad Ibn Karram.
Menurut
mereka iman adalah pengakuan dan pembenaran dengan
lisian tanpa ketertiban hati.
Karena itu ma’rifah dengan hati saja tanpa membenarkan dengan
ketertiban secara verbal dari lisan bukanlah iman.
Bagi mereka kufur terjadi bila
mengingkari secara lisan. Mereka juga berpendapat bahwa kaum
munafik yang hidup pada masa rasullah menurut mereka
benar-benar sebagai kaum
yang beriman. Pandangan ini jelas banyak ditolak orang sebab munafik
adalah sebuah term ditujukan bagi seseorang yang
sebenarnya kafir tetapi menyembunyikan
kekafirannya dengan mengakui iman seecara lisan (muqalat; 199).
Pendapat-pendapat ektrim seperti ini diuraikan diatas
timbul dari pengertian
bahwa perbuatan dan amal tidaklah sepenting iman yang
kemudian meningkat pada pengertian bahwa hanya imanlah
yang penting dan menentukan
mukmin atau tidak mukmin seseorang. Perbuatan tidak
mempunyai pengaruh dengan iman. Letaknya iman di dalam
hati. Dan apa yang ada di
dalam hati seseorang tidak diketahui manusia lain. Selanjutnya
perbuatan manusia tidak selamanya menggambarkan apa
yang ada dalam hatinya.
Oleh karena itu ucapan-ucapan dan perbuatan seseorang tidak mesti
mengenang arti bahwa tidak mempunyai iman, yang
penting ialah iman yang
di dalam hati. Dengan demikian ucapan dan perbuatan tidak merusak
iman seseorang ( Harun Nasution 1998;280 ).
Selanjutnya Harun mengungkapkan bahwa sejarah ini ada
bahayanya karena
dapat memperlemah ikatan- ikatan moral atau masyarakat yang besifat
permissiv, masyarakat yang dapat mentoleler
penyimpangan-penyimpangan dari norma-norma akhlak yang berlaku. Karna yang dipentingkan hanyalah iman
norma - norma akhlak bisa dipandang penting dan
diabaikan oleh orang – orang
yang menganut faham demikian.
Murji’ah itu pada akhirnya mengandung arti tidak baik
disetujui Tuhan. Ada
kemungkinan Tuhan akan mengampuni dosa-dosanya dan akan
menyiksanya sesuai dengan dosa - dosa yang dibuatnya
dan kemudian baru dimasukkan
ke dalam surga, karena tak mungkin akan kekal tinggal di
dalam.
Faham yang sama diberikan oleh al-Bagdadi dalam Harun
(1986 :29) ketika ia
menerangkan bahwa ada tiga macam iman:
1. Iman yang membuat orang keluar dari golongan kafir
dan tidak kekal dalam
neraka, yaitu mengakui Tuhan, ketika rasul - rasul, kadar baik
dan buruk, sifat Tuhan dan segala keyakinan lain yang
diakui dalam syariat.
2. Iman yang mewajibkan adanya keadilan dan
melenyapkan nama fisik dan
seseorang serta melepaskannya dari neraka, yaitu mengerjakannya
dari neraka, yaitu mengerjakan segala yang wajib dan
menjauhi segala dosa
besar.
3. Iman yang membuat sesorang memperoleh prioritas
untuk langsung masuk surga
tanpa perhitungan, yaitu mengerjakan segala yang wajib
serta yang sunat dan menjuhi segala dosanya.
Dari uraian diatas dapat disimpulkan bahwa orang
berdosa besar bukanlah
kafir, dan tidaklah kekal dalam neraka, orang-orang demikian adalah
mukmin dan akhirnya akan masuk surga.
Hal senada diungkapkan tokoh Maturidiyah “al-Bazdawi”
dalam Harun (1998 29)
sebagai berikut iman adalah kepercayaan dalam hati yang
dinyatakan dengan lisan. Kepatuhan - Kepatuhan pada
perintah Tuhan merupakan
akibat dari kepercayaan atau iman, orang meninggalkan
kepatuhan pada Tuhan bukanlah kafir, orang berdosa
besar tidak akan kekal dalam
neraka sungguhpun ia meninggal dunia sebelum taubat, nasibnya di
akhirat terletak pada kehendak Allah; orang demikian
mungkin memperoleh dan
masuk surga mungkin pada dasarnya tidak diampuni dan oleh karena itu
dimasukkan ke dalam surga. Adapun orang yang berdosa
kecil dosa-dosa dosa kecilnya
akan dihapus oleh kebaikan, shalat dan kewajiban-kewajiban lain yang
dijalankan, dengan demikian dosa-dosa besar tidak
membuat menjadi kafir dan
tidak membuat seseorang keluar dari iman, iman merupakan jaminan
bagi seseorang untuk masuk surga dan kepatuhan kepada
Tuhanlah yang menentukan
derajat yang akan diperoleh seseorang didalamnya, dengan kata
lain al-Bazdawi adalah kunci untuk masuk surga, sedang
anak akan menentukan
tingkatan yang dimasuk seseorang dalam surga , kalau amal
banyak tingkatan yang akan diperolehnya tinggi, tetapi
jika amal baiknya sedikit
derajat yang akan diperolehnya rendah.
Pada bagian akhir dari pembagian sekte ini nampaknya
tidak ada salahnya kita
singgung sedikit peristilahan Murji’ah yang dikaitkan dengan aliran lain.
Nampaknya peristilahan ini karena terdapatnya
kecendrungan faham Murji’ah yang beraliansi dengan faham lain, seperti dicontohkan di depan
bagaimana beberapa
butir faham Murji’ah moderat meresap pada aliran-aliran Ahl-al-Sunnah.[3]
BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
Sebagai sebuah aliran teologi, Murji’ah sudah
menghilang dari pentas sejarah,
dalam aspek teologi, lontaran gagasan pemikiran teologis Murji’ah
sedikitnya memiliki tiga kecendrungn. Pertama,
mengilhami lahirnya pemikiran teologis yang bersifat atau bercorak pasif. Kecendrungan kedua, dari
kalangan
Murji’ah meskipun dianggap mereka menghalang
memberikan kecendrungan pada
mnculnya gagasan yang sifatnya liberal dalam berteologi, atau bahkan
karena ektrimitasnya dapat merimplikasi negatif sampai
ke tahap nihilism moral,
yang tidak kalah menariknya justru pada kecendrungan ketiga, yaitu
menimbulkan semacam doktrin teologi pengharafan maaf.
Dalam aspek politik, sekalipun reputasi dalam
memainkan peran politik
tak spektakuler: dan kecendrungan pasif mungkin karena pengaruh
faham “ al-Irja” tetapi nampaknya juga melahirkan tipologi
perilaku politik unik. Kecendrungan
prilaku politik yang unik memunculkan juga pendapat yang
beragam, dari tipe yang pasif, ada pula nampaknya
prilaku adaptif diikuti dengan
sikap fleksibilitas dan loyalitas yang tentu tidak semuanya terkemuka
dalam sejarah.
Implikasi dan signifikansi terakhir adalah berkaitan
dengan kebudayaan dan peradaban.
Dalam bidang kebudayaan dan peradaban Murji’ah memang tidak
memainkan perana penting. Ini terjadi karena mengakar
pada doktrin mereka yang
memang tidak atau kurang memiliki potensi untuk itu dengan sikap
yang pasif , dibandingkan Mu’tazilah yang rasional.
DAFTAR PUSTAKA
Khawarij, Murji’ah, Jabariyah, Dan Qadariyah Dalam Ilmu Kalam
MURJI’AH DALAM PERSPEKTIF THEOLOGIS Oleh : Sariah Dosen Fakultas Tarbiyah dan
Keguruan UIN Suska Riau
Murji’ah dan Konsep Iman
Tidak ada komentar:
Posting Komentar