Senin, 01 Mei 2017

Wong Samin atau Sedulur Sikep

BAB I
PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang
Ajaran Samin (disebut juga Pergerakan Samin atau Saminisme) adalah salah satu suku yang ada di Indonesia. Masyarakat ini adalah keturunan para pengikut Samin Surosentiko yang mengajarkan sedulur sikep, di mana mereka mengobarkan semangat perlawanan terhadap Belanda dalam bentuk lain di luar kekerasan. Bentuk yang dilakukan adalah menolak membayar pajak, menolak segala peraturan yang dibuat pemerintah kolonial. Masyarakat ini acap memusingkan pemerintah Belanda maupun penjajahan Jepang karena sikap itu, sikap yang hingga sekarang dianggap menjengkelkan oleh kelompok di luarnya.
Masyarakat Samin sendiri juga mengisolasi diri hingga baru pada tahun '70-an, mereka baru tahu Indonesia telah merdeka. Kelompok Samin ini tersebar sampai Jawa Tengah, namun konsentrasi terbesarnya berada di kawasan Blora, Jawa Tengah dan Bojonegoro, Jawa Timur yang masing-masing bermukim di perbatasan kedua wilayah. Jumlah mereka tidak banyak dan tinggal di kawasan pegunungan Kendeng di perbatasan dua provinsi. Kelompok Samin lebih suka disebut wong sikep, karena kata samin bagi mereka mengandung makna negatif. Orang luar Samin sering menganggap mereka sebagai kelompok yang lugu, tidak suka mencuri, menolak membayar pajak, dan acap menjadi bahan lelucon terutama di kalangan masyarakat Bojonegoro. Pokok ajaran Samin Surosentiko, yang nama aslinya Raden Kohar, kelahiran Desa Ploso Kedhiren, Randublatung, tahun 1859, dan meninggal saat diasingkan ke Padang, 1914.[1]

B.     Rumusan Masalah
1.      Bagaimana sejarah ajaran aliran samin ?
2.      Bagaimana perkembangan aliran samin ?



BAB II
PEMBAHASAN
A.    Sejarah Kelahiran Aliran Samin
Masyarakat samin adalah sebuah fenomena kultural, yang memiliki keunikan sekaligus sarat akan pesan. Perilaku wong samin yang terkesan “seenaknya sendiri”, seolah-olah tak mengakui eksistensi negara dalam kehidupan mereka. Wong samin terkenal akan keluguannya, polos, dan apa adanya hingga terkesan “dungu”. Samin identik dengan perlawanan. Ajaran samin begitu popular sebagai simbol perlawanan rakyat terhadap penjajah.
Menuurut sejarah, ajaran ini dikembangkan oleh Samin Surosentiko. Samin Surosentiko lahir pada tahun 1859, di Desa Ploso Kedhiren, Randublatung Kabupaten Blora. Ayahnya bernama Raden Surowijaya atau lebih dikenal dengan Samin Sepuh. Nama Samin Surosentiko yang asli adalah Raden Kohar. Nama ini kemudian dirubah menjadi Samin, yaitu sebuah nama yang bernafas kerakyatan. Samin Surosentiko masih mempunyai pertalian darah dengan Kyai Keti di Rajegwesi, Bojonegoro dan masih bertalian darah dengan Pangeran Kusumoningayu yang berkuasa di daerahKabupaten Sumoroto (kini menjadi daerah kecil di Kabupaten Tulungagung) pada tahun 1802-1826.
Pada tahun 1890 Samin Surosentiko mulai mengembangkan ajarannya di daerah Klopoduwur, Blora. Banyak penduduk di desa sekitar yang tertarik dengan ajarannya, sehingga dalam waktu singkat sudah banyak masyarakat menjadi pengikutnya. Pada saat itu pemerintah Kolonial Belanda belum tertarik dengan ajarannya, karena dianggap sebagai ajaran kebatinan biasa atau agama baru yang tidak membahayakan keberadaan pemerintah kolonial. Pada tahun 1903 Residen Rembang melaporkan bahwa ada sejumlah 722 orang pengikut samin yang tersebar di 34 Desa di Blora bagian selatan dan daerah Bojonegoro. Mereka giat mengembangkan ajaran Samin. Sehingga sampai tahun 1907 orangSamin berjumlah + 5.000 orang. Akibat penyebarannya yang semakin massif, pemerintah Kolonial Belanda mulai merasa was-was sehingga banyak pengikut Samin yang ditangkap dan dipenjarakan, termasuk juga samin sendiri ditangkap dan diasingkan ke Sumatra hingga meninggal dalam status tahanan.
Ajaran Samin disampaikan oleh Samin Surosentiko kepada pengikut-pengikutnya dengan cara ceramah (sesoroh) di rumah atau di tanah lapang. Hal ini dilakukan karena wong samin tidak bisa membaca dan menulis. Pokok-pokok ajaran Samin antara lain:
a.       Agama iku gaman, Adam pangucape, man gaman lanang (Agama adalah senjata atau pegangan hidup)
b.      Aja drengki srei, tukar padu, dahpen, kemeren. Aja kutil jumput, bedhog nyolong (jangan mengganggu orang, jangan bertengkar, jangan suka iri hati. Jangan suka mengambil milik orang lain)
c.       Sabar lan trokal empun ngantos drengki srei, empun ngantos riyo sepada empun ngantok pek-pinepek, kutil jumput bedhog nyolong. Napa malih bedhog colong, napa milik barang, nemu barang teng dalan mawon kulo simpangi (berbuatlah sabar dan jangan sombong, jangan mengganggu orang, jangan takabur, jangan mengambil milik orang lain, apalagi mencuri, mengambil barang sedangkan menjumpai barang tercecer di jalan di jauhi)
d.      Wong urip kudu ngerti uripe, sebab urip siji digawe salawase (manusia hidup harus memahami kehidupannya, sebab hidup sama dengan roh hanya satu dan dibawa abadi selamanya)
e.       Wong enom mati uripe titip sing urip. Bayi uda nangis nger niku sukama ketemu raga. Dadi mulane wong niku mboten mati. Nek ninggal sandangan niku nggih. Kedah sabar lan trokal sing diarah turune. Dadi wong, salawase dadi wong (kalau anak muda meninggal dunia, rohnya dititipkan ke roh yang hidup. Bayi menangis itu tanda bertemunya roh dengan raga. Karena itu roh orang meninggal tidaklah meninggal, hanya menanggalkan pakaiannya. Manusia hidup harus sabar dan tawakal untuk keturunannya. Jadi roh itu tidak mati, melainkan berkumpul dengan roh yang masih hidup. Sekali oaring itu berbuat baik, selamanya akan menjadi orang baik)
f.       Pangucapan saka lima bundhelane ana pitu lan pangucapan saka sanga bundhelane ana pitu (ibaratnya orang berbicara dari angka lima berhenti pada angka tujuh dan angka Sembilan juga berhentipada angka tujuh, dengan kata lain merupakan isyarat atau symbol bahwa manusia dalam berbicara harus menjaga mulut)
Pada dasarnya ajaran Samin Surosentiko menyangkut tentang nilai-nilai kehidupan manusia. Ajaran tersebut digunakan sebagai pedoman bersikap dan bertingkah laku, khususnya harus selalu hidup dengan baik dan jujur untuk anak keturunannya. Ajaran samin merupakan gerakan meditasi dan pengerahan kekuatan batiniah untuk memerangi hawa nafsu.
Masyarakat samin yang menganut agama Adam, dikenal sebagai orang yang jujur, sulit bahkan tidak mau dipengaruhi paham lain. Wong samin mendalami , menghayati ajaran-ajaran itu sebagai landasan manusia untuk melakukan kehidupan yang baik dan jujur. Saat ini wong samin tidak lagi ingin dipanggil wong samin, tetapi lebih suka kalau dipanggil wong sikep. Samin sering dikonotasikan negatif. Beberapa alas an masyarakat samin tidak mau dipanggil wong samin karena identik dengan perbuatan tidak terpuji, antara lain: (1) samin dianggap kelompok orang yang tidak mau membayar pajak, (2) sering membantah dan menyangkal peraturan yang telah ditetapkan, (3) sering keluar masuk penjara, (4) sering mencuri kayu jati, (5) pekawinan tidak dilakukan menurut tatacara agama Islam. Wong samin lebih suka dipanggil wong sikep karena sikep diartikan sebai orang yang mempunyai rasa tanggung jawab atau orang yang bertanggung jawab.
Ajaran samin lebih menekankan pada falsafah hidup yang berbeda dengan gerakan saminisme yang menjadi gerakan perlawanan terhadap penjajah, walaupun konsep gerakan saminisme juga mengacu pada ajaran samin. Gerakan saminisme yang berkembang di Jawa mencakup tiga unsur yaitu:
1.      Gerakan ini mirip organisasi ploretariat kuno yang menentang system feodalisme dan colonial dengan kekuatan agraris terselubung.
2.      Aktivitas kontinyu; sepanjang yang dideteksi pihak aparat pemerintah terbukti bahwa gerakan ini bersifat utopis, bahkan tanpa perlawanan fisik yang mencolok.
3.      Tantangan yang dialamatkan kepada pemerintah yang diperlihatkan dengan prinsip “diam”, dengan tidak bersedia membayar pajak, membayar tiket kereta api, menyumbang tenaga untuk negeri, menjegal peraturan agrarian dan terlampau mendewakan diri sendiri.
Gerakan inilah yang kemudian justru lebih mengemuka sebagai salah satu cirri wong samin. Sehingga menyebabkan masyarakat samin enggan disebut sebagai wong samin, tetapi lebih suka disebut wong sikep. Bagi mereka yang harus diketahui oleh khalayak umum justru kemurnian dan falsafah hidup mereka yang menjadi salah satu kebanggaan dan kritik terhadap masyarakat pada umumnya.
Kebiasaan masyarakat samin ditandai oleh sikap dan perilaku atau perbuatan yang tidak mengikuti adat istiadat atau peraturan yang berlaku di desa atau masyarakat mereka tinggal. Hal tersebut terjadi sebagai symbol perlawanan mereka terhadap colonial. Hamper sebagian masyarakat samin miskin, sehingga ketika colonial memaksa untuk membayar pajak, masyarakat samin melawan dengan ketidakmauaan mereka membayar pajak. Sejak itulah segala sesuatu yang berkaitan dengan urusan pemerintahan tidak mereka ikuti.
Ajaran samin tersebar di Jawa Tengah dan Jawa Timur, tepatnya di Tapelan (Bojonegoro), Nginggil dan Kelopoduwur (Blora), Kutuk (Kudus), Gunung Segara (Brebes), Kandangan (Pati), dan Telag Anyar (Lamongan). Walaupun daerah sebarannya cukup luas, untuk saat ini sulit untuk menemui ajaran samin yang masih eksis dan menjadi falsafah hidup warga. Dari sedikit yang masih menerapkan ajaran ini tersebar di wilayah Blora dan Pati, terutama banyak dijumpai di Klopoduwur, Blora.[2]
B.     Perkembangan Aliran Samin
Bagaimana keberadaan wong samin sekarang? Hampir sebagian besar keturunan asli (wong samin) tinggal beberapa. Tetapi ajarannya tetap masih ada hingga saat ini salah satunya ada di desa Sumber, Kradenan. Kehidupan wong samin tentu sudah sangat berbeda dari falsafah awal. Wong samin sekarang tidak mau lagi dipanggil sebagai wong samin. Ketidakmauan mereka dipanggil wong samin lebih pada citra negative yang identik dengan melawan. Walaupun citra perlawanan ketika masa colonial menjadi cerita heroic tetapi citra itu tetap melekat bahkan hingga saat ini. Apalagi keidentikan itu juga dibumbui cerita zaman orde baru ketika wong samin diasingkan  oleh pemerintah karena permasalahan identitas (KTP) dimana mereka diwajibkan untuk mengisi kolom agama, yang bagi mereka menjadi permasalahan baru.
Agama masyarakat samin adalah agama Adam. Semua agama bagi mereka sama baiknya. Bagi mereka yang penting manusia itu sama saja, sama hidup dan tidak berbeda dengan lainnya. Hanya perjalanan hidup yang berbeda, perbuatan atau pekertinya. Perbuatan manusia itu hanya ada dua, baik dan buruk, jadi orang bebas untuk memilih satu diantara dua perbuatan tersebut. Orang samin meyakini satu keyakinan adanya hokum alam atau hokum karma ( becik ketitik, ala ketara).
Bagi orang samin yang penting dalam hidup ini adalah tabiatnya. Sekalipun seorang ulama, priyayi, beragama tapi bertabiat tidak baik, ya buruk pekertinya. Manusia hidup yang penting bukan “lahirnya” bukan “kata-kata muluk”, tetapi “isi hati” dan “perbuatan nyata”.[3]
Hingga sekarang masyarakat samin tetap eksis, meski menghadapi berbagai macam tantangan baik yang bersifat internal maupun eksternal. Menurut salah seorang tokoh samin, tetap eksisnya masyarakat samin, karena : 1) Sikap tokoh yang dapat dijadikan contoh bagi pengikutnya, seperti sifat kegotongroyongannya terhadap sesame warga tanpa melihat agama; 2) Faktor ajaran dasarnya yaitu budi pekerti luhur, seperti: kejujuran dan perilaku tolong menolong; 3) Keberadaan komunitas samin yang tidak menimbulkan keresahan dalam masyarakat; 4) Mengikuti aturan pemerintah yang sekarang, seperti: membayar pajak dan listrik dan anak-anak mereka sudah mau sekolah; 5) Faham samin tidak membeda-bedakan agama, semua agama termasuk kepercayaan samin dianggap baik; 6) Orang samin tidak pernah membenci agama yang ada. Bagi mereka yang penting adalah tabiat dalam kehidupannya; 7) Ajaran samin yang ada sekarang ada relevansinya dengan tradisi lama, seperti: adat pernikahan dan ritual keagamaan; 8) Komunitas samin tidak pernah mendapatkan tantangan baik dari pihak non samin maupun dari pengikutnya sendiri karena mereka tidak mewajibkan komunitasnya harus mengikuti aturan-aturan yang ada dalam kepercayaan tersebut, yang terpenting sesuai dengan hati nuraninya dan tidak saling mengganggu.[4]
Wong samin atau wong sikep, masa kini tumbuh berbarengan dengan modernisasi. Wong sikep punya traktor untuk membantu mengolah sawah, memiliki sepeda motor, dan televisi yang merupakan symbol modernisasi. Walaupun peralatan modern sudah mereka miliki tetapi ajaran samin masih awet mereka pegang. Inti ajaran yang masih mereka pegang sampai sekarang adalah tentang kejujuran.prinsip kejujuran itulah yang menjadi “agama” bagi mereka. Apa yang mereka bicarakan adalah suara hati, tindakan yang dilakukan adalah apa yang mereka yakini. Kejujuran itu menjadi salah satu landasan penopang kehidupan social meraka saat ini. Implementasi sikap jujur itu tampak dari tidak pernah ada kehilangan di komunikasi mereka. Tidak ada yang mengambil barang yang bukan milik pribadi.[5]



PENUTUP
Kesimpulan
Ajaran Samin atau ajaran Sikep adalah ajaran yang diajarkan oleh Ki Samin Surosentiko atau Raden Kohar. Ajaran Samin bukanlah agama, tapi sikap atau perilaku. Oleh sebab itu, masyarakat samin harus menata kalimat sebelum berbicara dengan lawan bicaranya. Masyarakat Samin menganggap semua agama itu baik, yang membedakan hanyalah sikap manusia itu sendiri. Dalam masyarakat Samin tidak ada yang namanya istilah majikan dan buruh, melainkan semuanya saling kerjasama dan gotongroyong.
Ki Samin Surosentiko mengajarkan ajarannya kepada sedulur dengan cara ceramah. Karena pada waktu itu para sedulur tidak ada yang bisa baca tulis. Ajarannya agama Adam (dikarenakan Adam adalah manusia pertama di dunia, yang awalnya adalah baik, sehingga yang baik harus baik bukan menjadi buruk).



DAFTAR PUSTAKA
https://id.wikipedia.org/wiki/Ajaran_Samin
Gendri Hendrastomo, Wong Sikep : Penjaga Eksistensi Ajaran Samin
Suhanah, Dinamika Perkembangan Sistem Kepercayaan Samin Di Kabupaten Blora





[1] https://id.wikipedia.org/wiki/Ajaran_Samin
[2] Gendri Hendrastomo, Wong Sikep : Penjaga Eksistensi Ajaran Samin. hal. 2-4
[3] Ibid. hal.4-5
[4] Suhanah, Dinamika Perkembangan Sistem Kepercayaan Samin Di Kabupaten Blora. hal. 620-621
[5] Opcit. Gendri Hendrastomo. Hal. 5

Tidak ada komentar:

Posting Komentar