BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Ajaran Samin (disebut
juga Pergerakan Samin atau Saminisme)
adalah salah satu suku yang ada di Indonesia. Masyarakat ini adalah keturunan
para pengikut Samin
Surosentiko yang mengajarkan sedulur sikep, di mana mereka mengobarkan
semangat perlawanan terhadap Belanda dalam bentuk lain di luar kekerasan. Bentuk yang dilakukan adalah menolak
membayar pajak, menolak segala peraturan yang dibuat pemerintah kolonial.
Masyarakat ini acap memusingkan pemerintah Belanda maupun penjajahan Jepang
karena sikap itu, sikap yang hingga sekarang dianggap menjengkelkan oleh
kelompok di luarnya.
Masyarakat Samin sendiri juga mengisolasi diri
hingga baru pada tahun '70-an, mereka baru tahu Indonesia telah merdeka.
Kelompok Samin ini tersebar sampai Jawa
Tengah, namun konsentrasi terbesarnya berada di kawasan Blora, Jawa Tengah
dan Bojonegoro, Jawa Timur yang masing-masing bermukim di
perbatasan kedua wilayah. Jumlah
mereka tidak banyak dan tinggal di kawasan pegunungan Kendeng di perbatasan dua
provinsi. Kelompok Samin lebih suka disebut wong
sikep, karena kata samin bagi mereka mengandung makna negatif. Orang luar Samin sering menganggap
mereka sebagai kelompok yang lugu, tidak suka mencuri, menolak membayar pajak,
dan acap menjadi bahan lelucon terutama di kalangan masyarakat Bojonegoro.
Pokok ajaran Samin Surosentiko, yang nama aslinya Raden Kohar, kelahiran Desa
Ploso Kedhiren, Randublatung, tahun 1859, dan meninggal saat diasingkan ke Padang, 1914.[1]
B.
Rumusan
Masalah
1.
Bagaimana sejarah ajaran aliran
samin ?
2.
Bagaimana perkembangan aliran samin
?
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Sejarah
Kelahiran Aliran Samin
Masyarakat samin
adalah sebuah fenomena kultural, yang memiliki keunikan sekaligus sarat akan
pesan. Perilaku wong samin yang terkesan “seenaknya sendiri”, seolah-olah tak
mengakui eksistensi negara dalam kehidupan mereka. Wong samin terkenal akan
keluguannya, polos, dan apa adanya hingga terkesan “dungu”. Samin identik
dengan perlawanan. Ajaran samin begitu popular sebagai simbol perlawanan rakyat
terhadap penjajah.
Menuurut
sejarah, ajaran ini dikembangkan oleh Samin Surosentiko. Samin Surosentiko
lahir pada tahun 1859, di Desa Ploso Kedhiren, Randublatung Kabupaten Blora.
Ayahnya bernama Raden Surowijaya atau lebih dikenal dengan Samin Sepuh. Nama
Samin Surosentiko yang asli adalah Raden Kohar. Nama ini kemudian dirubah
menjadi Samin, yaitu sebuah nama yang bernafas kerakyatan. Samin Surosentiko
masih mempunyai pertalian darah dengan Kyai Keti di Rajegwesi, Bojonegoro dan
masih bertalian darah dengan Pangeran Kusumoningayu yang berkuasa di
daerahKabupaten Sumoroto (kini menjadi daerah kecil di Kabupaten Tulungagung) pada
tahun 1802-1826.
Pada tahun
1890 Samin Surosentiko mulai mengembangkan ajarannya di daerah Klopoduwur,
Blora. Banyak penduduk di desa sekitar yang tertarik dengan ajarannya, sehingga
dalam waktu singkat sudah banyak masyarakat menjadi pengikutnya. Pada saat itu
pemerintah Kolonial Belanda belum tertarik dengan ajarannya, karena dianggap
sebagai ajaran kebatinan biasa atau agama baru yang tidak membahayakan
keberadaan pemerintah kolonial. Pada tahun 1903 Residen Rembang melaporkan
bahwa ada sejumlah 722 orang pengikut samin yang tersebar di 34 Desa di Blora
bagian selatan dan daerah Bojonegoro. Mereka giat mengembangkan ajaran Samin.
Sehingga sampai tahun 1907 orangSamin berjumlah + 5.000 orang. Akibat
penyebarannya yang semakin massif, pemerintah Kolonial Belanda mulai merasa
was-was sehingga banyak pengikut Samin yang ditangkap dan dipenjarakan,
termasuk juga samin sendiri ditangkap dan diasingkan ke Sumatra hingga
meninggal dalam status tahanan.
Ajaran Samin
disampaikan oleh Samin Surosentiko kepada pengikut-pengikutnya dengan cara
ceramah (sesoroh) di rumah atau di tanah lapang. Hal ini dilakukan karena wong
samin tidak bisa membaca dan menulis. Pokok-pokok ajaran Samin antara lain:
a.
Agama iku gaman, Adam pangucape,
man gaman lanang (Agama adalah senjata atau pegangan hidup)
b.
Aja drengki srei, tukar padu,
dahpen, kemeren. Aja kutil jumput, bedhog nyolong (jangan
mengganggu orang, jangan bertengkar, jangan suka iri hati. Jangan suka
mengambil milik orang lain)
c.
Sabar lan trokal empun ngantos
drengki srei, empun ngantos riyo sepada empun ngantok pek-pinepek, kutil jumput
bedhog nyolong. Napa malih bedhog colong, napa milik barang, nemu barang teng
dalan mawon kulo simpangi (berbuatlah sabar dan jangan sombong, jangan
mengganggu orang, jangan takabur, jangan mengambil milik orang lain, apalagi
mencuri, mengambil barang sedangkan menjumpai barang tercecer di jalan di
jauhi)
d.
Wong urip kudu ngerti uripe, sebab
urip siji digawe salawase (manusia hidup harus memahami kehidupannya,
sebab hidup sama dengan roh hanya satu dan dibawa abadi selamanya)
e.
Wong enom mati uripe titip sing
urip. Bayi uda nangis nger niku sukama ketemu raga. Dadi mulane wong niku
mboten mati. Nek ninggal sandangan niku nggih. Kedah sabar lan trokal sing
diarah turune. Dadi wong, salawase dadi wong (kalau anak muda meninggal dunia,
rohnya dititipkan ke roh yang hidup. Bayi menangis itu tanda bertemunya roh
dengan raga. Karena itu roh orang meninggal tidaklah meninggal, hanya
menanggalkan pakaiannya. Manusia hidup harus sabar dan tawakal untuk
keturunannya. Jadi roh itu tidak mati, melainkan berkumpul dengan roh yang
masih hidup. Sekali oaring itu berbuat baik, selamanya akan menjadi orang baik)
f.
Pangucapan saka lima bundhelane ana
pitu lan pangucapan saka sanga bundhelane ana pitu (ibaratnya
orang berbicara dari angka lima berhenti pada angka tujuh dan angka Sembilan
juga berhentipada angka tujuh, dengan kata lain merupakan isyarat atau symbol
bahwa manusia dalam berbicara harus menjaga mulut)
Pada dasarnya
ajaran Samin Surosentiko menyangkut tentang nilai-nilai kehidupan manusia.
Ajaran tersebut digunakan sebagai pedoman bersikap dan bertingkah laku,
khususnya harus selalu hidup dengan baik dan jujur untuk anak keturunannya.
Ajaran samin merupakan gerakan meditasi dan pengerahan kekuatan batiniah untuk
memerangi hawa nafsu.
Masyarakat
samin yang menganut agama Adam, dikenal sebagai orang yang jujur, sulit bahkan
tidak mau dipengaruhi paham lain. Wong samin mendalami , menghayati
ajaran-ajaran itu sebagai landasan manusia untuk melakukan kehidupan yang baik
dan jujur. Saat ini wong samin tidak lagi ingin dipanggil wong samin, tetapi
lebih suka kalau dipanggil wong sikep. Samin sering dikonotasikan negatif. Beberapa
alas an masyarakat samin tidak mau dipanggil wong samin karena identik dengan
perbuatan tidak terpuji, antara lain: (1) samin dianggap kelompok orang yang
tidak mau membayar pajak, (2) sering membantah dan menyangkal peraturan yang
telah ditetapkan, (3) sering keluar masuk penjara, (4) sering mencuri kayu
jati, (5) pekawinan tidak dilakukan menurut tatacara agama Islam. Wong samin
lebih suka dipanggil wong sikep karena sikep diartikan sebai orang yang
mempunyai rasa tanggung jawab atau orang yang bertanggung jawab.
Ajaran samin
lebih menekankan pada falsafah hidup yang berbeda dengan gerakan saminisme yang
menjadi gerakan perlawanan terhadap penjajah, walaupun konsep gerakan saminisme
juga mengacu pada ajaran samin. Gerakan saminisme yang berkembang di Jawa
mencakup tiga unsur yaitu:
1.
Gerakan ini mirip organisasi
ploretariat kuno yang menentang system feodalisme dan colonial dengan kekuatan
agraris terselubung.
2.
Aktivitas kontinyu; sepanjang yang
dideteksi pihak aparat pemerintah terbukti bahwa gerakan ini bersifat utopis,
bahkan tanpa perlawanan fisik yang mencolok.
3.
Tantangan yang dialamatkan kepada
pemerintah yang diperlihatkan dengan prinsip “diam”, dengan tidak bersedia
membayar pajak, membayar tiket kereta api, menyumbang tenaga untuk negeri,
menjegal peraturan agrarian dan terlampau mendewakan diri sendiri.
Gerakan inilah
yang kemudian justru lebih mengemuka sebagai salah satu cirri wong samin. Sehingga
menyebabkan masyarakat samin enggan disebut sebagai wong samin, tetapi lebih
suka disebut wong sikep. Bagi mereka yang harus diketahui oleh khalayak umum
justru kemurnian dan falsafah hidup mereka yang menjadi salah satu kebanggaan
dan kritik terhadap masyarakat pada umumnya.
Kebiasaan
masyarakat samin ditandai oleh sikap dan perilaku atau perbuatan yang tidak
mengikuti adat istiadat atau peraturan yang berlaku di desa atau masyarakat
mereka tinggal. Hal tersebut terjadi sebagai symbol perlawanan mereka terhadap
colonial. Hamper sebagian masyarakat samin miskin, sehingga ketika colonial
memaksa untuk membayar pajak, masyarakat samin melawan dengan ketidakmauaan
mereka membayar pajak. Sejak itulah segala sesuatu yang berkaitan dengan urusan
pemerintahan tidak mereka ikuti.
Ajaran samin
tersebar di Jawa Tengah dan Jawa Timur, tepatnya di Tapelan (Bojonegoro),
Nginggil dan Kelopoduwur (Blora), Kutuk (Kudus), Gunung Segara (Brebes),
Kandangan (Pati), dan Telag Anyar (Lamongan). Walaupun daerah sebarannya cukup
luas, untuk saat ini sulit untuk menemui ajaran samin yang masih eksis dan
menjadi falsafah hidup warga. Dari sedikit yang masih menerapkan ajaran ini
tersebar di wilayah Blora dan Pati, terutama banyak dijumpai di Klopoduwur,
Blora.[2]
B.
Perkembangan
Aliran Samin
Bagaimana
keberadaan wong samin sekarang? Hampir sebagian besar keturunan asli (wong
samin) tinggal beberapa. Tetapi ajarannya tetap masih ada hingga saat ini salah
satunya ada di desa Sumber, Kradenan. Kehidupan wong samin tentu sudah sangat
berbeda dari falsafah awal. Wong samin sekarang tidak mau lagi dipanggil
sebagai wong samin. Ketidakmauan mereka dipanggil wong samin lebih pada citra
negative yang identik dengan melawan. Walaupun citra perlawanan ketika masa
colonial menjadi cerita heroic tetapi citra itu tetap melekat bahkan hingga
saat ini. Apalagi keidentikan itu juga dibumbui cerita zaman orde baru ketika
wong samin diasingkan oleh pemerintah
karena permasalahan identitas (KTP) dimana mereka diwajibkan untuk mengisi
kolom agama, yang bagi mereka menjadi permasalahan baru.
Agama
masyarakat samin adalah agama Adam. Semua agama bagi mereka sama baiknya. Bagi
mereka yang penting manusia itu sama saja, sama hidup dan tidak berbeda dengan
lainnya. Hanya perjalanan hidup yang berbeda, perbuatan atau pekertinya.
Perbuatan manusia itu hanya ada dua, baik dan buruk, jadi orang bebas untuk
memilih satu diantara dua perbuatan tersebut. Orang samin meyakini satu
keyakinan adanya hokum alam atau hokum karma ( becik ketitik, ala ketara).
Bagi orang
samin yang penting dalam hidup ini adalah tabiatnya. Sekalipun seorang ulama,
priyayi, beragama tapi bertabiat tidak baik, ya buruk pekertinya. Manusia hidup
yang penting bukan “lahirnya” bukan “kata-kata muluk”, tetapi “isi hati” dan
“perbuatan nyata”.[3]
Hingga
sekarang masyarakat samin tetap eksis, meski menghadapi berbagai macam
tantangan baik yang bersifat internal maupun eksternal. Menurut salah seorang
tokoh samin, tetap eksisnya masyarakat samin, karena : 1) Sikap tokoh yang
dapat dijadikan contoh bagi pengikutnya, seperti sifat kegotongroyongannya
terhadap sesame warga tanpa melihat agama; 2) Faktor ajaran dasarnya yaitu budi
pekerti luhur, seperti: kejujuran dan perilaku tolong menolong; 3) Keberadaan
komunitas samin yang tidak menimbulkan keresahan dalam masyarakat; 4) Mengikuti
aturan pemerintah yang sekarang, seperti: membayar pajak dan listrik dan
anak-anak mereka sudah mau sekolah; 5) Faham samin tidak membeda-bedakan agama,
semua agama termasuk kepercayaan samin dianggap baik; 6) Orang samin tidak
pernah membenci agama yang ada. Bagi mereka yang penting adalah tabiat dalam
kehidupannya; 7) Ajaran samin yang ada sekarang ada relevansinya dengan tradisi
lama, seperti: adat pernikahan dan ritual keagamaan; 8) Komunitas samin tidak
pernah mendapatkan tantangan baik dari pihak non samin maupun dari pengikutnya
sendiri karena mereka tidak mewajibkan komunitasnya harus mengikuti
aturan-aturan yang ada dalam kepercayaan tersebut, yang terpenting sesuai
dengan hati nuraninya dan tidak saling mengganggu.[4]
Wong samin
atau wong sikep, masa kini tumbuh berbarengan dengan modernisasi. Wong sikep
punya traktor untuk membantu mengolah sawah, memiliki sepeda motor, dan
televisi yang merupakan symbol modernisasi. Walaupun peralatan modern sudah
mereka miliki tetapi ajaran samin masih awet mereka pegang. Inti ajaran yang
masih mereka pegang sampai sekarang adalah tentang kejujuran.prinsip kejujuran
itulah yang menjadi “agama” bagi mereka. Apa yang mereka bicarakan adalah suara
hati, tindakan yang dilakukan adalah apa yang mereka yakini. Kejujuran itu
menjadi salah satu landasan penopang kehidupan social meraka saat ini.
Implementasi sikap jujur itu tampak dari tidak pernah ada kehilangan di
komunikasi mereka. Tidak ada yang mengambil barang yang bukan milik pribadi.[5]
PENUTUP
Kesimpulan
Ajaran Samin atau ajaran Sikep adalah ajaran yang diajarkan oleh Ki Samin
Surosentiko atau Raden Kohar. Ajaran Samin bukanlah agama, tapi sikap atau
perilaku. Oleh sebab itu, masyarakat samin harus menata kalimat sebelum
berbicara dengan lawan bicaranya. Masyarakat Samin menganggap semua agama itu
baik, yang membedakan hanyalah sikap manusia itu sendiri. Dalam masyarakat
Samin tidak ada yang namanya istilah majikan dan buruh, melainkan semuanya
saling kerjasama dan gotongroyong.
Ki Samin Surosentiko mengajarkan ajarannya kepada sedulur dengan cara
ceramah. Karena pada waktu itu para sedulur tidak ada yang bisa baca tulis.
Ajarannya agama Adam (dikarenakan Adam adalah manusia pertama di dunia, yang
awalnya adalah baik, sehingga yang baik harus baik bukan menjadi buruk).
DAFTAR PUSTAKA
https://id.wikipedia.org/wiki/Ajaran_Samin
Gendri
Hendrastomo, Wong Sikep : Penjaga Eksistensi Ajaran Samin
Suhanah, Dinamika
Perkembangan Sistem Kepercayaan Samin Di Kabupaten Blora
[1]
https://id.wikipedia.org/wiki/Ajaran_Samin
[2]
Gendri Hendrastomo, Wong Sikep : Penjaga Eksistensi Ajaran Samin. hal.
2-4
[3]
Ibid. hal.4-5
[4]
Suhanah, Dinamika Perkembangan Sistem Kepercayaan Samin Di Kabupaten Blora.
hal. 620-621
[5]
Opcit. Gendri Hendrastomo.
Hal. 5
Tidak ada komentar:
Posting Komentar