Muhammad Ashim Abdul Jalil
Abstrak
Tujuan dari penelitian ini adalah untuk
mengetahui bagaimana pandangan dan interaksi antar agama dari sudut pandang
agama Kristen di desa Welahan Kecamatan Welahan kabupaten Jepara. Toleransi sangatlah
dibutuhkan warga Indonesia, terutama dalam hal agama. Supaya menjadi Indonesia yang
sejahtera. Dalam kacamata agama Kristen, toleransi membuat mereka berbaur dan mengenal
banyak orang dari agama yang lain. Dengan adanya toleransi antar agama, akan menciptakan
kerukunan dan interaksi yang baik sebagai umat manusia.
Kata Kunci : Toleransi, Kerukunan
Pendahuluan
Toleransi antar umat beragama berarti menghormati dan peduli
terhadap pemeluk agama lain, tidak memaksa mereka mengikuti agamanya dan tidak
mencampuri urusan agama masing-masing. Toleransi beragama adalah “mengakui dan
mendukung bahwa individu memiliki hak dan kebebasan untuk keyakinan mereka
sendiri dan praktik yang sah terkait, tanpa harus memvalidasi keyakinan atau
praktik” (Hein dalam Risnawita dan Ghufron, 2015, hal. 2).
Menurut
Puslitbang Kehidupan Keagamaan Badan Litbang dan Diklat Kementerian Agama RI
(2010, hal. v) Toleransi merupakan elemen dasar yang dibutuhkan untuk
menumbuhkembangkan sikap saling memahami dan menghargai perbedaan yang ada,
serta menjadi entry point bagi terwujudnya suasana dialog dan kerukunan
antar umat beragama dalam masyarakat. Agar tidak terjadi konflik antar umat
beragama, toleransi harus menjadi kesadaran kolektif seluruh kelompok
masyarakat, dari tingkat anak-anak, remaja, dewasa, hingga orang tua, baik
pelajar, pegawai, birokrat maupun mahasiswa. Lebih dari itu, prinsip-prinsip
toleransi harus betul-betul bekerja mengatur perikehidupan masyarakat secara
efektif.
Kerukunan beragama di tengah
keanekaragaman budaya merupakan aset dalam kehidupan berbangsa dan bernegara di
Indonesia. Dalam perjalanan sejarah bangsa, Pancasila telah teruji sebagai
alternatif yang paling tepat untuk mempersatukan masyarakat Indonesia yang
sangat majemuk di bawah suatu tatanan yang inklusif dan demokratis. Sayangnya
wacana mengenai Pancasila seolah lenyap seiring dengan berlangsungnya
reformasi.
Berbagai macam kendala yang sering
kita hadapi dalam mensukseskan kerukunan antar umat beragama di Indonesia, dari
luar maupun dalam negeri kita sendiri. Namun dengan kendala tersebut warga
Indonesia selalu optimis, bahwa dengan banyaknya agama yang ada di Indonesia,
maka banyak pula solusi untuk menghadapi kendala-kendala tersebut. Dari
berbagai pihak telah sepakat untuk mencapai tujuan kerukunan antar umat
beragama di Indonesia seperti masyarakat dari berbagai golongan, pemerintah,
dan organisasi-organisasi agama yang banyak berperan aktif dalam masyarakat.
Keharmonisan
dalam komunikasi antar sesama penganut agama adalah tujuan dari kerukunan
beragama, agar terciptakan masyarakat yang bebas dari ancaman, kekerasan hingga
konflik agama.
Diketahui,
bahwa manusia dianugerahi oleh Tuhan Yang Maha Esa akal budi, dan nurani yang
memberikan kepadanya kemampuan untuk membedakan yang baik dan yang buruk yang
akan membimbing dan mengarahkan sikap dan perilaku dalam menjalani
kehidupannya. Dengan akal budi dan nuraninya itu, maka manusia memiliki
kebebasan untuk memutuskan sendiri perilaku atau perbuatannya. Disamping itu,
untuk mengimbangi kebebasan tersebut manusia memili kemampuan untuk bertanggung
jawabatas semua tindakan yang dilakukannya. Kebebasan dasar dan hak-hak dasar
itulah yang disebut hak asasi manusia yang melekat pada manusia secara kodrati
sebagai anugerah Tuhan Yang Maha Esa. Hak-hak ini tidak dapat diingkari. Pengingkaran
terhadap hak tersebut berarti mengingkari martabat kemanusiaan. Oleh karena
itu, negara, pemerintah, atau organisasi apapun mengemban kewajiban untuk
mengakui dan melindungi hak asasi manusia pada setiap manusia tanpa terkecuali.
Ini berarti bahwa hak asasi manusia harus selalu menjadi titik tolak, dan
tujuan dalam penyelenggaraan kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.
Kerukunan
antar umat beragama merupakan salah satu cita-cita bangsa Indonesia. Karena Indonesia
tidak mau mengikuti negara-negara yang selalu berkonflik antar satu dengan yang
lainnya terutama konflik yang mengatasnamakan agama. Agama yang resmi di
Indonesia tidak hanya Islam saja tetapi agama lain juga diakui oleh negara
seperti Hindu, Budha, Kristen, KongHuCu. Semua agama-agama tersebut dilindungi
oleh negara sehingga perlunya harmonisasi antar umat beragama. Wujud dari
harmonisasi antar umat beragama seperti adanya dialog antar umat beragama,
saling tolong menolong kepada yang berbeda agama, tidak menyudutkan yang
berbeda agama dan lain sebagainya. Semua agama melarang untuk melakukan
kekerasan yang mengatas namakan agama.
Penulis
akan memaparkan hasil penelitian dari segi wawancara dengan salah seorang warga
dan pendeta di desa Welahan kecamatan Welahan kabupaten Jepara RT 1 RW 1. Pemasalahan
yang penulis akan bahas yaitu mengenai sikap toleransi antar agama, interak,
serta bagaimana kerukunan antar agama itu bisa terjalin. Namun, pembahasan yang
dilakukan oleh penulis bukan melalui pandangan secara umum, melainkan melalui
pandangan secara khusus. Yaitu dari sudut pandang orang Kristen dari desa
tersebut.
AGAMA KRISTEN
Kristen
Protestan pertama kali diperkenalkan oleh bangsa Belanda pada abad ke-16 M
dengan pengaruh ajaran Calvinis dan Lutheran. Wilayah penganut animisme di
wilayah Indonesia bagian Timur, dan bagian lain, merupakan tujuan utama
orang-orang Belanda, termasu Maluku, Nusa Tenggara, Papua, dan Kalimantan.
Kemudian,
Kristen menyebar melalui pelabuhan pantai Borneo. Kaum misionarispun tiba di
Toraja, Sulawesi. Wilayah Sumatera juga menjadi target para misionaris ketika
itu, khususnya adalah orang-orang Batak, dimana banyak saat ini yang menjadi
pemeluk Protestan.
A.
Kristen dan Ketuhanan
Agama kristen adalah sebuah
kepercayaan monoteistik yang berdasar pada ajaran, hidup, sengsara, wafat, dan
ebangkitan Yesus Kristus menurut Perjanjian Baru. Agama ini meyakini Yesus
Kristus adalah Tuhan dan Mesias yang diramalkan dalam Perjanjian Lama, juru
selamat bagi seluruh umat manusia, yang menebus manusia dari dosa. Pengikutnya
beribadah di Gereja dan kitab suci mereka adalah Alkitab. Murid-murid Yesus
Kristus pertama kali dipanggil Kristen Antiokhia.
Yesus Kristus dilahirkan sekitar tahun
4 SM di Betlehem, Yudea, dan bertumbuh dewasa di kota Nazaret, Galilea. Setelah
ia berumur tiga puluh tahun, dimulailah pelayanan Yesus selama tiga tahun
termasuk merekrut keduabelas rasul, melakukan mukjizat, mengusir setan,
menyembuhkan orang sakit, dan membangkitkan orang mati. Yesus mati dihukum
dengan cara disalib oleh karena hasutan pemimpin-pemimpin agama Yahudi yang
tidak suka dengan ajaran Yesus yang dianggap bertentangan dengan ajaran mereka.
Ia disalibkan di bukit Golgota, Yerusalem di antara tahun 29-33 M atas perintah
Gubernur Provinsi Yudea Romawi, Pontius Pilatus. Setelah mati disalibkan, Yesus
dikuburkan di dalam gua batu. Umat Kristiani percaya bahwa Yesus bangkit dari
mati pada hari ketiga setelah kematiannya dan menampakkan diri pada lebih dari
lima ratus saksi mata. Empat puluh hari kemudian ia naik ke surga dengan
disaksikan banyak orang. Umat Kristiani juga percaya bahwa para imam Yahudi
yang ketakutan menyogok para penjaga kubur untuk menyebarkan kabar bohong bahwa
Yesus tidak bangkit melainkan mayatnya dicuri oleh para muridnya. Kelima hal
dalam kehidupan Yesus Kristus ini (kelahiran, pelayanan, kematian, kebangkitan,
kenaikan ke surga) adalah intisari kekristenan. Informasi utama tentang
kehidupan Yesus berasal dari keempat Injil dan tulisan-tulisan Paulus serta
murid-murid Yesus yang lain dan secara kolektif disebut buku Perjanjian Baru.
Kita sebagai manusia, makhluk
ciptaan Tuhan tidak bisa membayangkan wajah, bentuk, dan rupa Tuhan itu seperti
apa. Sekarang coba kita bayangkan, kita mempunyai ayam, ayam itu bertelur dan
menetas. Suatu ketika turunlah hujan, sang induk bisa langsung lompat ke dalam
kandang, sedangkan anak-anak ayam yang masih kecil tersebut belum bisa lompat
ke dalam kandang. Kita sebagai pemilik ayam itu merasa kasihan terhadap
anak-anak ayam itu dan ingin menolong. Apa yang akan terjadi ketika kita akan
menolong? Anak-anak ayam itu pasti akan kabur, padahal niat kita baik, yaitu
ingin membantu anak-anak ayam itu masuk kandang sehingga tidak kehujanan lagi.
Begitu pula dengan Alah (Yesus) yang ingin menolong makhluknya yang ada di buka
bumi ini. Jika Tuhan datang dengan wujud aslinya, pasti manusia akan merasa
ketakutan. Oleh sebab itu, Tuhan menolong makhluknya dengan menjelma menjadi
manusia yang terlahir dari rahim bunda Maria.
Dengan menjadi manusia, manusia lain
tidak akan merasa ketakutan dan bahkan akan merasa nyaman dan senang menerima
ajaran-ajarannya. Tuhan turun untuk menyelamatkan makhluknya yang senantiasa
beribadah kepadanya.
Tuhan Yesus dianggap telah melakukan
dosa besar karena telah turun kedunia dan bahkan menjadi sama seperti
makhluknya. Karena itu, Yesus disalib. Salib ketika masa itu merupakan hukuman
yang paling kejam. Hukuman salib itu adalah untuk menghapus dosa. Karena Yesus
adalah Tuhan, maka ketika dihukum salib, dosa-dosa makhluknya juga ikut
terhapuskan. Bukan hanya dosanya saja yang terhapus, melainkan dosa-dosa
makhluknya dari masa lalu hingga masa Tuhan turun kembali telah terhapuskan.
Ketika waktu yang sudah ditentukan
Tuhan, Dia akan turun ke dunia dengan membawa kebaikan dan menghukum yang
bersalah dan tidak mau mengimaninya. Narasumber meyakini bahwa dia tidak akan
di hukum oleh tuhan dan akan masuk surga. Karena yang mengimani Yesus termasuk
dianggap anak, pengikut, maupun umat Tuhan. Sehingga siapa saja yang mengimani
Tuhan Yesus, tidak akan mendapatkan hukuman apapun.
B.
Peribadatan
Dalam agama Kristen, kita diajarkan
untuk tidak melawan kejahatan orang lain terhadap diri kita. Bahkan kita
diperintahkan untuk menyerahkan pipi kita yang lain. Dunia biasanya beranggapan
bahwa kejahatan orang lain itu harus dilawan dengan sekuat tenaga dan dengan
cara apapun. Kita diajarkan Yesus untuk mencintai musuh-musuh kita dan berdoa
memohon kebaikan bagi mereka yang mengutuk kita. Dunia mengajarkan agar sahabat
kitalah yang harus kita cintai dan musuhlah yang kita benci. Kepada kita
diajarkan bahwa matahari diterbitkan Tuhan bagi mereka yang bersifat adil
maupun bagi yang tidak jujur. Dunia menolak hal ini, karena merasa bahwa
seyogyanya matahari hanya terbit bag mereka yang adil saja. Amat menyinggung
perasaan jika mereka yang jahat dapat berkeliaran tanpa mendapat hukuman dan
lebih suka melihat mereka berada dalam kemurahan yang abadi. Kepada kita
dikisahkan bahwa pemungut bea dan para pelacur akan lemih dahulu memasuki
kerajaan surga dari pada mereka yang hanya baik secara lahiriyah belaka.
Sedangkan dunia beranggapan bahwa orang baik, orang yang terhormat, orang yang
mematuhi norma-norma dan tidak berbuat hal-hal yang memalukan akan berada paling
depan dalam barisan menuju kerajaan surga.
Satu-satunya jalan untuk memahami
isi nasehat-nasehat Yesus yang luar biasa mengenai bagaimana perilaku kita
terhadap sesama manusia adalah dengan memandang ajaran-ajaran yang disusun
berdasarkan paham tentang Tuhan yang mencintai manusia secara mutlak tanpa
memperhitungkan nilai manusia itu ataupun kekurangan-kekurangannya.
Tuhan Yesus mengajarkan kebaikan dan
bukan kekerasan. Ketika kita ditampar atau dipukul pada pipi kiri kita, kita
tidak diajarkan untuk membalas mereka, melainkan memberikan pipi kita yang
kanan. Itu artinya kita tidak boleh membalah keburukan dengan keburukan,
kejahatan dengan kejahatan. Tapi justru kasihilah musuh-musuh kita.
Dalam agama Kristen diajarkan untuk
memberi dan menolong kepada sesama umat manusia tanpa memandang status mereka.
Baik itu miskin, beda agama dan yang lainnya. Ketika memberi kepada beda agama
sering kali dianggap oleh agama lain untuk menarik simpati mereka dan dianggap
sebagai taktik supaya masuk ke agama Kristen. Padahal dari umat Kristen sendiri
hanya ingin memberikan bantuan dan sedekah. Tidak adanya niat yang demikian
tadi.
Doa (salat) orang Kristen tidak
memiliki aturan waktu, tempat, dan bacaannya. Tidak ada doa yang khusus dari
masing-masing hari. Mungkin bedanya ketika hari senin sampai sabtu berdoa
sendiri, bisa di rumah atau dimanapun. Sedangkan hari minggu berdoa bersama di
Greja. Hanya itu bedanya.
Berdoanya orang Kristen adalah
hubungan pribadi dengan Tuhan, seperti berbicara, mengeluh, curhat, cerita, dan
yang lainnya kepada Tuhan. Karena seperti berbicara dengan Tuhan, kita bisa
mengatakan segalanya apa yang mengganjal di hati dan fikiran kita. Sebenarnya
ada alkitab yang berisi puji-pujian dan doa-doa kepada Tuhan. Tapi tidak harus terpaku
untuk sama seperti isi dalam alkitab tersebut. Alkitab hanyalah sebagai contoh
dan tuntunan berdoa yang baik. Sedangkan untuk prakteknya (berdoa) terserah
yang berdoa.
C.
Dakwah
Di Kristen sebutannya bukanlah
berdakwah, melainkan sebutannya misi. Intinya sama, yaitu mensi’arkan agama.
Misinya yaitu, kita hanya menceritakan siapakah kita, siapakah Tuhan kita.
Seperti keterangan diatas Tuhan Yesus itu begini-begini-begini. Tugas kita itu
begitu. Mau orang itu percaya atau tidak itu bukan urusan kita. Mau orang itu
mendengar serius atau gak suka juga terserah. Tapi tugas kita, mensi’arkannya
ya seperti itu (menceritakan).
Dan memang ada orang-orang khusus
yang tugasnya mensi’arkan itu tadi (orang-orang misi). Biasanya orang-orang
misi zaman dulu (sekitar 60-an), orang-orang dari luar negeri masuk ke
Indonesia memang sudah dibekali dengan ilmu si’ar. Dalam bahasa kami adalah
penginjilan. Penginjilan adalah menceritakan isi Injil. Menceritakan tentang
Tuhan Yesus.
Zaman dulu, orang Indonesia banyak
yang tidak beragama (masih animisme). Menyembah dewa-dewa, roh-roh,
gunung-gunung. Mungkin Islam sudah ada, tapi masih ada adat kejawen, masih
menyembah keris, dan yang lainnya. Itu yang harus diluruskan. Sistem si’arnya
dari zaman dulu ya sama, menceritakan agama Kristen itu.
Si’ar atau penginjilan merupakan
tugas dari setiap orang Kristen. Bukan hanya tugas Pendeta, dan juga bukan
hanya tugas yang menghususkan itu tadi. Tapi memang ada orang-orang yang diberi
karomah oleh Tuhan. Kalau di Kristen bahasanya yaitu kelebihan tersendiri atau
karunia. Memang ada orang yang diberi kelebihan tersendiri untuk hal-hal
seperti itu (pensi’aran).
Jadi, yang pertama ada orang-orang
yang di khususkan memang dari sananya. Itu kan tidak bisa di tolak. Seperti,
mungkin mempunyai bakat menyanyi, itu kan udah dari sananya. Orang yang
mempunyai karomah tersendiri pasti kemana-mana dia pergi si’ar. Yang kedua ada
juga yang dibekali di sekolah. Ada sekolah-sekolah khusus yang memang mengajari
hal seperti itu (si’ar). Bagaimana masuk ke daerah pedalaman Kalimantan.
Pelajari dulu Kalimantan, bahasanya, karakter orangnya seperti apa, kalau kita
masuk kesana harus bagaimana. Tapi secara umum, kami orang Kristen mempunyai
tugas, mempunyai kewajiban untuk si’ar. Bagaimana si’arnya..? ya melalui
teladan hidup kita, sikap kita dengan sesama, toleransi.
Dalam kitab diajarkan, jangan
membalas kejahatan dengan kejahatan. Bahkan, kasihilah musuhmu. Ada istilah
yang paling populer di Kristen yaitu, “kalau kamu ditampar pipi kirimu,
berikanlah pipi kananmu”. Artinya adalah, kita tidak punya hak untuk membalas.
Itu adalah bentuk si’ar, karena kita dasarnya kasih.
Jadi,
si’ar bukanlah mempengaruhi orang lain atau agama lain masuk ke agama Kristen.
Tidak ada unsur paksaan di dalamnya. Kita bersi’ar dengan menceritakan apa itu
Kristen, bagaimana ajarannya, dan yang lain. Mau percaya, mau mengimani Kristen
atau tidak itu terserah mereka.
Toleransi
Agama
Menurut Manaf (1994, hal. 1), kata agama dalam bahasa Indonesia
sama dengan “diin”(dari bahasa Arab) dalam bahasa Eropa disebut “religi”, religion
(bahasa Inggris), la religion (bahasa Perancis), the religie (bahasa
Belanda), die religion, (bahasa Jerman). Kata “diin” dalam bahasa Semit
berarti undang-undang (hukum), sedang kata diin dalam bahasa Arab berarti
menguasai, menundukkan, patuh, hutang, balasan, kebiasaan.
Nasution (1985, hal. 10) telah mengumpulkan delapan macam definisi
agama yaitu: pertama, pengakuan terhadap adanya hubungan manusia dengan
kekuatan gaib yang harus dipatuhi. Kedua, pengakuan terhadap adanya
kekuatan gaib yang menguasai manusia. Ketiga, mengikatkan diri pada
suatu bentuk hidup yang mengandung pengakuan pada suatu sumber yang berada di
luar diri manusia dan yang mempengaruhi perbuatan-perbuatan manusia. Keempat,
kepercayaan pada suatu kekuatan gaib yang menimbulkan cara hidup tertentu. Kelima,
suatu sistem tingkah laku yang berasal dari suatu kekuatan gaib. Keenam,
pengakuan terhadap adanya kewajiban-kewajiban yang diyakini bersumber pada
suatu kekuatan gaib. Ketujuh, pemujaan terhadap kekuatan gaib yang
timbul dari perasaan lemah dan perasaan takut terhadap kekuatan misterius yang
terdapat dalam alam sekitar manusia. Terakhir, ajaran-ajaran yang
diwahyukan Tuhan kepada manusia melalui seorang Rasul.
Anshori dalam Ghufron dan Risnawita (2010, hal. 167) membedakan
antara istilah religi atau agama dengan religiusitas. Jika agama menunjuk pada
aspek-aspek formal yang berkaitan dengan aturan dan kewajiban, maka
religiusitas menunjuk pada aspek religi yang telah dihayati oleh seseorang
dalam hati. Religiusitas sebagai keberagamaan karena adanya internalisasi agama
tersebut ke dalam diri seseorang.
Agama adalah hubungan
antara makhluk dengan Khalik (Tuhan) yang berwujud ibadah yang dilakukan dalam
sikap kesehariaannya. Arti agama secara detail bahwa agama sebagai suatu sistem
credo (tata keyakinan) atas adanya Yang Maha Mutlak dan suatu sistem norma
(tata kaidah) yang mengatur hubungan manusia dengan sesama manusia dan
dengan alam sekitarnya, sesuai dengan tata keimanan dan tata peribadatan
tersebut (Ghufron dan Risnawita, 2010, hal. 167).
Pargament (dalam Ghufron dan Risnawita, 2015, hal. 58)
mendefinisikan agama dalam arti luas dan multidimensi termasuk ekspresi
keagamaan institusional, seperti dogma dan ritual, dan ekspresi keagamaan,
seperti perasaan spiritualitas, keyakinan tentang yang suci, dan agama adalah
praktek.
Dari berbagai pendapat di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa
agama menunjuk pada tingkat keterikatan individu terhadap agamanya. Hal ini
menunjukkan bahwa individu telah menghayati dan menginternalisasikan ajaran
agamanya sehingga berpengaruh dalam segala tindakan dan pandangan hidupnya.
Sementara berkatan tentang toleransi, Secara etimologi berasal
dari kata tolerance (dalam bahasa Inggris) yang berarti sikap
membiarkan, mengakui dan menghormati keyakinan orang lain tanpa memerlukan
persetujuan. Di dalam bahasa Arab dikenal dengan tasamuh, yang berarti
saling mengizinkan, saling memudahkan (Al-Munawar, 1987, hal. 13). Adapun
menurut Webster’s New American Dictionary arti tolerance adalah liberty
toward the opinions of others, patience with others yang kalau
diterjemahkan ke dalam Bahasa Indonesia artinya adalah memberi kebebasan
(membiarkan) pendapat orang lain, dan berlaku sabar menghadapi orang lain
(Puslitbang Kehidupan Keagamaan Badan Litbang dan Diklat Kementerian Agama RI,
2010, hal. 51). Jadi toleransi adalah sikap lapang dada terhadap prinsip orang
lain, tidak berarti seseorang harus mengorbankan kepercayaan atau prinsip yang
dianutnya melainkan harus tercermin sikap yang kuat atau istiqamah untuk
memegangi keyakinan atau pendapatnya sendiri.
Khisbiyah (2007, hal. 4) berpendapat bahwa toleransi adalah
kemampuan untuk menahankan hal-hal yang tidak kita setujui atau tidak kita
sukai, dalam rangka membangun hubungan sosial yang lebih baik. Toleransi
mensyaratkan adanya penerimaan dan penghargaan terhadap pandangan, keyakinan,
nilai, serta praktik orang/kelompok lain yang berbeda dengan kita. Intoleransi
adalah ketidakmampuan atau ketidakmauan untuk bertoleran, muncul karena kita
tidak bisa atau tidak mau menerima dan menghargai perbedaan. Intoleransi bisa
terjadi pada tataran hubungan interpersonal, seperti hubungan antara kakak dan
adik, orangtua dan anak, suami dan isteri, antarteman, atau antarkelompok,
misalnya suku, agama, bangsa, dan ideologi.
Menurut Puslitbang
Kehidupan Keagamaan Badan Litbang dan Diklat Kementerian Agama RI, (2010, hal.
57) yang mengutip dari Ensiklopedi Nasional Indonesia menjelaskan bahwa,
toleransi beragama adalah sikap bersedia menerima keanekaragaman dan kebebasan
beragama yang dianut dan kepercayaan yang diyakini oleh pihak atau golongan
lain. Hal ini dapat terjadi karena keberadaan dan eksistensi suatu golongan,
agama atau kepercayaan, diakui atau dihormati oleh pihak lain. Pengakuan
tersebut tidak terbatas pada persamaan derajat, baik dalam tatanan kenegaraan,
tatanan kemasyarakatan maupun di hadapan Tuhan Yang Maha Esa, tetapi juga
perbedaan-perbedaan dalam cara penghayatan dan peribadatannya yang sesuai
dengan alasan kemanusiaan yang adil dan beradab. Dalam toleransi ini semua umat
beragama harus berpegang pada prinsip agree in disagreement (setuju
dalam perbedaan).
Prinsip mengenai toleransi antar umat beragama yaitu: (1) tidak
boleh ada paksaan dalam beragama baik paksaan itu berupa halus maupun dilakukan
secara kasar; (2) manusia berhak untuk memilih dan memeluk agama yang
diyakininya dan beribadat menurut keyakinan itu; (3) tidak akan berguna memaksa
seseorang agar mengikuti suatu keyakinan tertentu ; dan (4) Tuhan Yang Maha Esa
tidak melarang hidup bermasyarakat dengan yang tidak sefaham atau tidak
seagama, dengan harapan menghindari sikap saling bermusuhan (Ali, 1986; 82).
Al-Qardhawi (1985, hal. 95-97) berpendapat bahwa toleransi
sebenarnya tidaklah bersifat pasif, tetapi dinamis. Sehubungan hal tersebut,
al-Qardhawi mengategorikan toleransi keagamaan dalam tiga tingkatan. Pertama,
toleransi dalam bentuk hanya sebatas memberikan kebebasan kepada orang lain
untuk memeluk agama yang diyakininya, tetapi tidak memberinya kesempatan untuk
melaksanakan tugas-tugas keagamaan yang diwajibkan atas dirinya. Kedua,
memberinya hak untuk memeluk agama yang diyakininya, kemudian tidak memaksanya
mengerjakan sesuatu sebagai larangan dalam agamanya. Ketiga, tidak
mempersempit gerak mereka dalam melakukan hal-hal yang menurut agamanya halal,
meskipun hal tersebut diharamkan menurut agama kita.
Bentuk toleransi yang harus ditegakkan yaitu: (1) toleransi agama
dan (2) toleransi sosial. Toleransi agama adalah toleransi yang menyangkut
keyakinan yang berhubungan dengan akidah yaitu sikap lapang dada untuk memberi
kesempatan pemeluk agama selain Islam beribadah menurut ketentuan agama yang
diyakininya. Sedangkan, toleransi sosial berorientasi terhadap toleransi
kemasyarakatan. Dalam masyarakat yang beragam karena perbedaan agama dianjurkan
untuk menegakkan kedamaian dan melakukan kerjasama dengan orang-orang yang
berlainan agama dalam batas-batas yang telah ditentukan.
Dengan adanya toleransi maka akan dapat melestarikan persatuan dan
kesatuan bangsa, mendukung dan menyukseskan pembangunan, serta menghilangkan
kesenjangan. Hubungan antar umat beragama didasarkan pada prinsip persaudaraan
yang baik, bekerjasama untuk menghadapi musuh dan membela golongan yang
menderita.
Toleransi memungkinkan orang untuk memperlakukan orang lain dengan
hormat dan bermartabat, memisahkan orang lain dari keyakinan dan praktik sejauh
diperlakukan dengan ketidakberpihakan, dan individu dihargai sebagai sesama
manusia.
Berdasarkan Penjelasan di
atas dapat disimpulkan bahwa toleransi beragama adalah kesadaran seseorang
untuk menghargai, menghormati, membiarkan, dan membolehkan pendirian,
pandangan, keyakinan, kepercayaan, serta memberikan ruang bagi pelaksanaan
kebiasaan, perilaku, dan praktik keagamaan orang lain yang berbeda atau
bertentangan dengan pendirian sendiri dalam rangka membangun kehidupan bersama
dan hubungan sosial yang lebih baik.
Kerukunan Antar Umat Beragama
Kerukunan (dari ruku, bahasa Arab, artinya tiang atau
tiang-tiang yang menopang rumah; penopang yang memberi kedamain dan
kesejahteraan kepada penghuninya) secara luas bermakna adanya suasana
persaudaraan dan kebersamaan antar semua orang walaupun mereka berbeda secara
suku, agama, ras, dan golongan. Kerukunan juga bisa bermakna suatu proses untuk
menjadi rukun karena sebelumnya ada ketidakrukunan; serta kemampuan dan kemauan
untuk hidup berdampingan dan bersama dengan damai serta tenteram.
Langkah-langkah untuk mencapai kerukunan seperti itu, memerlukan proses waktu
serta dialog, saling terbuka, menerima dan menghargai sesama, serta
cinta-kasih.
Sedangkan kerukunan umat beragama yaitu hubungan sesama umat
beragama yang dilandasi dengan toleransi, saling pengertian, saling
menghormati, saling menghargai dalam kesetaraan pengamalan ajaran agamanya dan
kerja sama dalam kehidupan masyarakat dan bernegara. Umat beragama dan
pemerintah harus melakukan upaya bersama dalam memelihara kerukunan umat
beragama, di bidang pelayanan, pengaturan dan pemberdayaan. Sebagai contoh
yaitu dalam mendirikan rumah ibadah harus memperhatikan pertimbangan Ormas
keagamaan yang berbadan hokum dan telah terdaftar di pemerintah daerah.
Pemeliharaan kerukunan umat beragama
baik di tingkat Daerah, Provinsi, maupun Negara pusat merupakan kewajiban
seluruh warga Negara beserta instansi pemerinth lainnya. Lingkup ketentraman
dan ketertiban termasuk memfalisitasi terwujudnya kerukunan umat beragama,
mengkoordinasi kegiatan instnsi vertical, menumbuh kembangkan keharmonisan
saling pengertian, saling menghormati, saling percaya diantara umat beragama,
bahkan menerbitkan rumah ibadah.
Sesuai dengan tingkatannya Forum Kerukunan Umat Beragama dibentuk
di Provinsi dan Kabupaten. Dengan hubungan yang bersifat konsultatif dengan
tugas melakukan dialog dengan pemuka agama dan tokoh-tokoh masyarakat,
menampung aspirasi Ormas keagamaan dan aspirasi masyarakat, menyalurkan
aspirasi dalam bentuk rekomendasi sebagai bahan kebijakan.
Kerukunan
antar umat beragama dapat diwujudkan dengan :
1. Saling tenggang rasa, saling
menghargai, toleransi antar umat beragama
2. Tidak memaksakan seseorang
untuk memeluk agama tertentu
3. Melaksanakan ibadah sesuai
agamanya, dan mematuhi peraturan.
Jenis
– Jenis Kerukunan Antar Umat Beragama
a) Kerukunan
antar pemeluk agama yang sama, yaitu suatu bentuk kerukunan yang terjalin antar
masyarakat penganut satu agama. Misalnya, kerukunan sesama orang Islam atau
kerukunan sesama penganut Kristen. Kerukunan antar pemeluk agama yang sama juga
harus dijaga agar tidak terjadi perpecahan dan paham-paham baru yang menyimpang
dari konsep agama tersebut, walaupun sebenarnya dalam hal ini sangat minim
sekali terjadi konflik.
b) Kerukunan antar umat beragama
lain, yaitu suatu bentuk kerukunan yang terjalin antar masyarakat yang memeluk
agama berbeda-beda. Misalnya, kerukunan antar umat Islam dan Kristen, antara
pemeluk agama Kristen dan Budha, atau kerukunan yang dilakukan oleh semua
agama. Kerukunan antar umat beragama lain ini cukup sulit untuk dijaga.
Seringkali terjadi konflik antar pemeluk agama yang berbeda.
Manfaat
Kerukunan Antar Umat Beragama
Terciptanya suasana yang damai
dalam bermasyarakat
Toleransi antar umat Beragama
meningkat
Menciptakan rasa aman bagi agama
– agama minoritas dalam melaksanakan ibadahnya masing masing
Meminimalisir konflik yang
terjadi yang mengatasnamakan Agama.
Kendala-Kendala
Kerukunan Antar Umat Beragama
1) Rendahnya
Sikap Toleransi
Menurut Dr.
Ali Masrur, M.Ag, salah satu masalah dalam komunikasi antar agama sekarang ini,
khususnya di Indonesia, adalah munculnya sikap toleransi malas-malasan (lazy
tolerance) sebagaimana diungkapkan P. Knitter. Sikap ini muncul sebagai akibat
dari pola perjumpaan tak langsung (indirect encounter) antar agama, khususnya
menyangkut persoalan teologi yang sensitif. Sehingga kalangan umat beragama
merasa enggan mendiskusikan masalah-masalah keimanan. Tentu saja, dialog yang
lebih mendalam tidak terjadi, karena baik pihak yang berbeda keyakinan/agama
sama-sama menjaga jarak satu sama lain. Masing-masing agama mengakui kebenaran
agama lain, tetapi kemudian membiarkan satu sama lain bertindak dengan cara
yang memuaskan masing-masing pihak. Yang terjadi hanyalah perjumpaan tak
langsung, bukan perjumpaan sesungguhnya. Sehingga dapat menimbulkan sikap
kecurigaan diantara beberapa pihak yang berbeda agama, maka akan timbullah yang
dinamakan konflik.
2)
Kepentingan Politik
Faktor
Politik terkadang menjadi faktor penting sebagai kendala dalam mencapai tujuan
sebuah kerukunan antar umat beragama khususnya di Indonesia, jika bukan yang
paling penting di antara faktor-faktor lainnya. Bisa saja sebuah kerukunan
antar agama telah dibangun dengan bersusah payah selama bertahun-tahun atau
mungkin berpuluh-puluh tahun, dan dengan demikian kita pun hampir memetik
buahnya. Namun tiba-tiba saja muncul kekacauan politik yang ikut memengaruhi
hubungan antaragama dan bahkan memorak-porandakannya seolah petir menyambar yang
dengan mudahnya merontokkan “bangunan dialog” yang sedang kita selesaikan.
Seperti yang sedang terjadi di negeri kita saat ini, kita tidak hanya menangis
melihat political upheavels di negeri ini, tetapi lebih dari itu yang mengalir
bukan lagi air mata, tetapi darah; darah saudara-saudara kita, yang
mudah-mudahan diterima di sisi-Nya. Tanpa politik kita tidak bisa hidup secara
tertib teratur dan bahkan tidak mampu membangun sebuah negara, tetapi dengan
alasan politik juga kita seringkali menunggangi agama dan memanfaatkannya.
3) Sikap Fanatisme
Di kalangan
Islam, pemahaman agama secara eksklusif juga ada dan berkembang. Bahkan
akhir-akhir ini, di Indonesia telah tumbuh dan berkembang pemahaman keagamaan
yang dapat dikategorikan sebagai Islam radikal dan fundamentalis, yakni
pemahaman keagamaan yang menekankan praktik keagamaan tanpa melihat bagaimana
sebuah ajaran agama seharusnya diadaptasikan dengan situasi dan kondisi
masyarakat. Mereka masih berpandangan bahwa Islam adalah satu-satunya agama yang
benar dan dapat menjamin keselamatan menusia. Jika orang ingin selamat, ia
harus memeluk Islam. Segala perbuatan orang-orang non-Muslim, menurut
perspektif aliran ini, tidak dapat diterima di sisi Allah.
Pandangan-pandangan
semacam ini tidak mudah dikikis karena masing-masing sekte atau aliran dalam
agama tertentu, Islam misalnya, juga memiliki agen-agen dan para pemimpinnya
sendiri-sendiri. Islam tidak bergerak dari satu komando dan satu pemimpin. Ada
banyak aliran dan ada banyak pemimpin agama dalam Islam yang antara satu sama
lain memiliki pandangan yang berbeda-beda tentang agamanya dan terkadang
bertentangan. Tentu saja, dalam agama Kristen juga ada kelompok eksklusif
seperti ini. Kelompok Evangelis, misalnya, berpendapat bahwa tujuan utama
gereja adalah mengajak mereka yang percaya untuk meningkatkan keimanan dan
mereka yang berada “di luar” untuk masuk dan bergabung. Bagi kelompok ini,
hanya mereka yang bergabung dengan gereja yang akan dianugerahi salvation atau
keselamatan abadi. Dengan saling mengandalkan pandangan-pandangan setiap sekte
dalam agama teersebut, maka timbullah sikap fanatisme yang berlebihan.
Pandangan
Kerukunan Antar Umat Beragama dari Alkitab
Pandangan Agama Kristen mengenai
kerukunan antar umat beragama dapat dilihat dari kasih Yesus yang mengasihi
sesama dan bahkan terhadap musuh (Matius 5:44). Pandangan eksklusif mengenai
agama Kristen tidak boleh mempengaruhi umat untuk membedakan perlakuan kasih
antara Kristen dengan agama lainnya dan tidak menganggapnya sebagai musuh, melainkan
melihat mereka sebagai ‘korban’ dan membutuhkan berkat dan keselamatan yang
sama dengan umat Kristen. Tuhan Yesus mengajari kita untuk mengasihi sesama
manusia yang tertulis pada Markus 12:29-31.
Solusi
Masalah Kerukunan Antar Umat Beragama
1) Dialog
Antar Pemeluk Agama
Sejarah
perjumpaan agama-agama yang menggunakan kerangka politik secara tipikal hampir
keseluruhannya dipenuhi pergumulan, konflik dan pertarungan. Karena itulah
dalam perkembangan ilmu sejarah dalam beberapa dasawarsa terakhir, sejarah yang
berpusat pada politik yang kemudian disebut sebagai “sejarah konvensional”
dikembangkan dengan mencakup bidang-bidang kehidupan sosial-budaya lainnya,
sehingga memunculkan apa yang disebut sebagai “sejarah baru” (new history).
Sejarah model mutakhir ini lazim disebut sebagai “sejarah sosial” (social
history) sebagai bandingan dari “sejarah politik” (political history).
Penerapan sejarah sosial dalam perjumpaan Kristen dan Islam di Indonesia akan
sangat relevan, karena ia akan dapat mengungkapkan sisi-sisi lain hubungan para
penganut kedua agama ini di luar bidang politik, yang sangat boleh jadi
berlangsung dalam saling pengertian dan kedamaian, yang pada gilirannya
mewujudkan kehidupan bersama secara damai (peaceful co-existence) di
antara para pemeluk agama yang berbeda.
Hampir bisa
dipastikan, perjumpaan Kristen dan Islam (dan juga agama-agama lain) akan terus
meningkat di masa-masa datang. Sejalan dengan peningkatan globalisasi, revolusi
teknologi komunikasi dan transportasi, kita akan menyaksikan gelombang
perjumpaan agama-agama dalam skala intensitas yang tidak pernah terjadi
sebelumnya. Dengan begitu, hampir tidak ada lagi suatu komunitas umat beragama
yang bisa hidup eksklusif, terpisah dari lingkungan komunitas umat-umat
beragama lainnya. Satu contoh kasus dapat diambil: seperti dengan meyakinkan
dibuktikan Eck (2002), Amerika Serikat, yang mungkin oleh sebagian orang
dipandang sebagai sebuah “negara Kristen,” telah berubah menjadi negara yang
secara keagamaan paling beragam. Indonesia, dalam batas tertentu, mungkin juga
dapat mengalami kecenderungan yang sama. Sebagian besar perjumpaan di antara
agama-agama itu, khususnya agama yang mengalami konflik, bersifat damai.
Dalam
waktu-waktu tertentu―ketika terjadi perubahan-perubahan politik dan sosial yang
cepat, yang memunculkan krisis― pertikaian dan konflik sangat boleh jadi
meningkat intensitasnya. Tetapi hal ini seyogyanya tidak mengaburkan perspektif
kita, bahwa kedamaian lebih sering menjadi feature utama. Kedamaian dalam
perjumpaan itu, hemat saya, banyak bersumber dari pertukaran (exchanges) dalam
lapangan sosio-kultural atau bidang-bidang yang secara longgar dapat disebut
sebagai “non-agama.” Bahkan terjadi juga pertukaran yang semakin intensif
menyangkut gagasan-gagasan keagamaan melalui dialog-dialog antaragama dan
kemanusiaan baik pada tingkat domestik di Indonesia maupun pada tingkat
internasional; ini jelas memperkuat perjumpaan secara damai tersebut. Melalui
berbagai pertukaran semacam ini terjadi penguatan saling pengertian dan, pada
gilirannya, kehidupan berdampingan secara damai.
2) Bersikap
Optimis
Walaupun
berbagai hambatan menghadang jalan kita untuk menuju sikap terbuka, saling
pengertian dan saling menghargai antaragama, saya kira kita tidak perlu
bersikap pesimis. Sebaliknya, kita perlu dan seharusnya mengembangkan optimisme
dalam menghadapi dan menyongsong masa depan dialog.
Paling tidak
ada tiga hal yang dapat membuat kita bersikap optimis. Pertama, pada
beberapa dekade terakhir ini studi agama-agama, termasuk juga dialog
antaragama, semakin merebak dan berkembang di berbagai universitas, baik di
dalam maupun di luar negeri. Selain di berbagai perguruan tinggi agama, IAIN
dan Seminari misalnya, di universitas umum seperti Universitas Gajah Mada, juga
telah didirikan Pusat Studi Agama-agama dan Lintas Budaya. Meskipun baru seumur
jagung, hal itu bisa menjadi pertanda dan sekaligus harapan bagi pengembangan
paham keagamaan yang lebih toleran dan pada akhirnya lebih manusiawi. Juga
bermunculan lembaga-lembaga kajian agama, seperti Interfidei dan FKBA di
Yogyakarta, yang memberikan sumbangan dalam menumbuhkembangkan paham pluralisme
agama dan kerukunan antar penganutnya.
Kedua,
para pemimpin masing-masing agama semakin sadar akan perlunya perspektif baru
dalam melihat hubungan antar-agama. Mereka seringkali mengadakan pertemuan,
baik secara reguler maupun insidentil untuk menjalin hubungan yang lebih erat
dan memecahkan berbagai problem keagamaan yang tengah dihadapi bangsa kita
dewasa ini. Kesadaran semacam ini seharusnya tidak hanya dimiliki oleh para
pemimpin agama, tetapi juga oleh para penganut agama sampai ke akar rumput
sehingga tidak terjadi jurang pemisah antara pemimpin agama dan umat atau
jemaatnya. Kita seringkali prihatin melihat orang-orang awam yang pemahaman
keagamaannya bahkan bertentangan dengan ajaran agamanya sendiri. Inilah
kesalahan kita bersama. Kita lebih mementingkan bangunan-bangunan fisik
peribadatan dan menambah kuantitas pengikut, tetapi kurang menekankan kedalaman
(intensity) keberagamaan serta kualitas mereka dalam memahami dan mengamalkan
ajaran agama.
Ketiga, masyarakat
kita sebenarnya semakin dewasa dalam menanggapi isu-isu atau
provokasi-provokasi. Mereka tidak lagi mudah disulut dan diadu-domba serta
dimanfaatkan, baik oleh pribadi maupun kelompok demi target dan tujuan politik
tertentu. Meskipun berkali-kali masjid dan gereja diledakkan, tetapi semakin
teruji bahwa masyarakat kita sudah bisa membedakan mana wilayah agama dan mana
wilayah politik. Ini merupakan ujian bagi agama autentik (authentic religion)
dan penganutnya. Adalah tugas kita bersama, yakni pemerintah, para pemimpin
agama, dan masyarakat untuk mengingatkan para aktor politik di negeri kita
untuk tidak memakai agama sebagai instrumen politik dan tidak lagi menebar teror
untuk mengadu domba antarpenganut agama.
Jika
tiga hal ini bisa dikembangkan dan kemudian diwariskan kepada generasi
selanjutnya, maka setidaknya kita para pemeluk agama masih mempunyai harapan
untuk dapat berkomunikasi dengan baik dan pada gilirannya bisa hidup
berdampingan lebih sebagai kawan dan mitra daripada sebagai lawan.
Cara
Menjaga Kerukunan Antar Umat Beragama
·
Menjunjung tinggi toleransi antar
umat Beragama di Indonesia. Baik yang merupakan pemeluk Agama yang sama, maupun
dengan yang berbeda Agama. Rasa toleransi bisa berbentuk dalam macam-macam hal.
Misalnya seperti, pembangunan tempat ibadah oleh pemerintah, tidak saling
mengejek dan mengganggu umat lain dalam interaksi sehari – harinya, atau
memberi waktu pada umat lain untuk beribadah bila memang sudah waktunya mereka
melakukan ibadah. Banyak hal yang bisa dilakukan untuk menunjukkan sikap
toleransi. Hal ini sangat penting demi menjaga tali kerukunan umat beragama di
Indonesia, karena jika rasa toleransi antar umat beragama di Indonesia sudah
tinggi, maka konflik – konflik yang mengatasnamakan Agama di Indonesia dengan
sendirinya akan berkurang ataupun hilang sama sekali.
·
Selalu siap membantu sesama dalam
keadaan apapun dan tanpa melihat status orang tersebut. Jangan melakukan
perlakuan diskriminasi terhadap suatu agama, terutama saat mereka membutuhkan
bantuan. Misalnya, di suatu daerah di Indonesia mengalami bencana alam.
Mayoritas penduduknya adalah pemeluk agama Kristen. Bagi Anda yang memeluk
agama lain, jangan lantas malas dan enggan untuk membantu saudara sebangsa yang
sedang kesusahan hanya karena perbedaan agama. Justru dengan membantu mereka
yang kesusahan, kita akan mempererat tali persaudaraan sebangsa dan setanah air
kita, sehingga secara tidak langsung akan memperkokoh persatuan Indonesia.
·
Hormatilah selalu orang lain tanpa
memandang Agama apa yang mereka anut. Misalnya dengan selalu berbicara halus
dan sopan kepada siapapun. Biasakan pula untuk menomor satukan sopan santun
dalam beraktivitas sehari harinya, terlebih lagi menghormati orang lain tanpa
memandang perbedaan yang ada. Hal ini tentu akan mempererat kerukunan umat
beragama di Indonesia.
·
Bila terjadi masalah yang membawa nama agama, tetap selesaikan
dengan kepala dingin dan damai, tanpa harus saling tunjuk dan menyalahkan. Para
pemuka agama, tokoh masyarakat, dan pemerintah sangat diperlukan peranannya
dalam pencapaian solusi yang baik dan tidak merugikan pihak – pihak manapun,
atau mungkin malah menguntungkan semua pihak. Hal ini diperlukan karena di
Indonesia ini masyarakatnya sangat beraneka ragam.
Metode Penelitian
Metode penelitian
yang digunakan adalah dengan wawancara dan internet. Wawancara yang dilakukan
oleh peneliti adalah dengan mendatangi narasumber. Hari kamis 24 November 2016
pukul 13.34 datang ke sekolah SMAN 2 Welahan menemui narasumber dan membuat
janji untuk menentukan waktu wawancara.
Setelah maghrib
sekitar pukul 18.15 mendatangi rumah narasumber yang bernama Lupiyanti Lidiya Reynilda (55) Jl. Gotri Welahan Jepara Rt 1 Rw 1. Setelah
mendapatkan hasil, tak lama kemudian menuju narasumber yang berikutnya. Tidak jauh
dari tempat narasumber yang pertama yaitu sekitar 40 meter, tempat tinggal
pendeta setempat yang bernama Kuswidado (41). Selesai wawancara sekitar pukul
21.05.
Hasil
Penelitian
Berdasarkan hasil penelitian ini
adalah, toleransi sangatlah mereka pegang teguh. Bahkan dalam penyebaran agama
yang mereka lakukan tanpa adanya kekerasan dan paksaan. Dan juga mereka ketika
memberi, tidak ada niat atau sebuah taktik supaya orang-orang masuk agama
Kristen.
Sebagai warga Indonesia yang memang
beraneka ragam, terutama pada agama, mereka berpandangan tidak ada gunanya
saling berselisih. Bahkan mereka berpendapat, kita sebagai umat harus saling
membantu sama lainnya tanpa harus memandang apapun. Apalagi dalam hal agama. Karena
adakalanya antara agama yang satu dengan yang satu pasti akan saling
membutuhkan.
Simpulan
Berdasarkan hasil penelitian ini, maka dapat
disimpulkan bahwa kita sebagai warga Indonesia yang memiliki berbagai macam
suku, budaya, bahasa, bahkan agama, memiliki sikap toleransi cukup baik. Terutama
dalam hal agama. Meskipun antara agama yang satu dengan yang lain berbeda, tapi
sebagai manusia tidak bisa menghindari bahwa kita saling membutuhkan satu sama
lainnya.
Referensi
Hasil
wawancara dengan Pendeta, Kuswidado. Kamis 24 november 2016, 19:23 wib. Jepara
Hasil
presentasi kelompok 7, agama Kristen, sistem keberagamaan, 22 november 2016
Hasil wawancara dengan warga,
Lupiyanti Lidiya Reynilda. Kamis 24 november 2016, 18:20 wib. Jepara