Minggu, 04 Desember 2016

TOLERANSI DAN KERUKUNAN BERAGAMA DI DESA WELAHAN KECAMATAN WELAHAN KABUPATEN JEPARA DARI SUDUT PANDANG AGAMA KRISTEN


Muhammad Ashim Abdul Jalil
STAIN Kudus, Indonesia

Abstrak
Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui bagaimana pandangan dan interaksi antar agama dari sudut pandang agama Kristen di desa Welahan Kecamatan Welahan kabupaten Jepara. Toleransi sangatlah dibutuhkan warga Indonesia, terutama dalam hal agama. Supaya menjadi Indonesia yang sejahtera. Dalam kacamata agama Kristen, toleransi membuat mereka berbaur dan mengenal banyak orang dari agama yang lain. Dengan adanya toleransi antar agama, akan menciptakan kerukunan dan interaksi yang baik sebagai umat manusia.
Kata Kunci : Toleransi, Kerukunan
 Pendahuluan
Toleransi antar umat beragama berarti menghormati dan peduli terhadap pemeluk agama lain, tidak memaksa mereka mengikuti agamanya dan tidak mencampuri urusan agama masing-masing. Toleransi beragama adalah “mengakui dan mendukung bahwa individu memiliki hak dan kebebasan untuk keyakinan mereka sendiri dan praktik yang sah terkait, tanpa harus memvalidasi keyakinan atau praktik” (Hein dalam Risnawita dan Ghufron, 2015, hal. 2).
            Menurut Puslitbang Kehidupan Keagamaan Badan Litbang dan Diklat Kementerian Agama RI (2010, hal. v) Toleransi merupakan elemen dasar yang dibutuhkan untuk menumbuhkembangkan sikap saling memahami dan menghargai perbedaan yang ada, serta menjadi entry point bagi terwujudnya suasana dialog dan kerukunan antar umat beragama dalam masyarakat. Agar tidak terjadi konflik antar umat beragama, toleransi harus menjadi kesadaran kolektif seluruh kelompok masyarakat, dari tingkat anak-anak, remaja, dewasa, hingga orang tua, baik pelajar, pegawai, birokrat maupun mahasiswa. Lebih dari itu, prinsip-prinsip toleransi harus betul-betul bekerja mengatur perikehidupan masyarakat secara efektif.
            Kerukunan beragama di tengah keanekaragaman budaya merupakan aset dalam kehidupan berbangsa dan bernegara di Indonesia. Dalam perjalanan sejarah bangsa, Pancasila telah teruji sebagai alternatif yang paling tepat untuk mempersatukan masyarakat Indonesia yang sangat majemuk di bawah suatu tatanan yang inklusif dan demokratis. Sayangnya wacana mengenai Pancasila seolah lenyap seiring dengan berlangsungnya reformasi.
            Berbagai macam kendala yang sering kita hadapi dalam mensukseskan kerukunan antar umat beragama di Indonesia, dari luar maupun dalam negeri kita sendiri. Namun dengan kendala tersebut warga Indonesia selalu optimis, bahwa dengan banyaknya agama yang ada di Indonesia, maka banyak pula solusi untuk menghadapi kendala-kendala tersebut. Dari berbagai pihak telah sepakat untuk mencapai tujuan kerukunan antar umat beragama di Indonesia seperti masyarakat dari berbagai golongan, pemerintah, dan organisasi-organisasi agama yang banyak berperan aktif dalam masyarakat.
            Keharmonisan dalam komunikasi antar sesama penganut agama adalah tujuan dari kerukunan beragama, agar terciptakan masyarakat yang bebas dari ancaman, kekerasan hingga konflik agama.
            Diketahui, bahwa manusia dianugerahi oleh Tuhan Yang Maha Esa akal budi, dan nurani yang memberikan kepadanya kemampuan untuk membedakan yang baik dan yang buruk yang akan membimbing dan mengarahkan sikap dan perilaku dalam menjalani kehidupannya. Dengan akal budi dan nuraninya itu, maka manusia memiliki kebebasan untuk memutuskan sendiri perilaku atau perbuatannya. Disamping itu, untuk mengimbangi kebebasan tersebut manusia memili kemampuan untuk bertanggung jawabatas semua tindakan yang dilakukannya. Kebebasan dasar dan hak-hak dasar itulah yang disebut hak asasi manusia yang melekat pada manusia secara kodrati sebagai anugerah Tuhan Yang Maha Esa. Hak-hak ini tidak dapat diingkari. Pengingkaran terhadap hak tersebut berarti mengingkari martabat kemanusiaan. Oleh karena itu, negara, pemerintah, atau organisasi apapun mengemban kewajiban untuk mengakui dan melindungi hak asasi manusia pada setiap manusia tanpa terkecuali. Ini berarti bahwa hak asasi manusia harus selalu menjadi titik tolak, dan tujuan dalam penyelenggaraan kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.
            Kerukunan antar umat beragama merupakan salah satu cita-cita bangsa Indonesia. Karena Indonesia tidak mau mengikuti negara-negara yang selalu berkonflik antar satu dengan yang lainnya terutama konflik yang mengatasnamakan agama. Agama yang resmi di Indonesia tidak hanya Islam saja tetapi agama lain juga diakui oleh negara seperti Hindu, Budha, Kristen, KongHuCu. Semua agama-agama tersebut dilindungi oleh negara sehingga perlunya harmonisasi antar umat beragama. Wujud dari harmonisasi antar umat beragama seperti adanya dialog antar umat beragama, saling tolong menolong kepada yang berbeda agama, tidak menyudutkan yang berbeda agama dan lain sebagainya. Semua agama melarang untuk melakukan kekerasan yang mengatas namakan agama.
            Penulis akan memaparkan hasil penelitian dari segi wawancara dengan salah seorang warga dan pendeta di desa Welahan kecamatan Welahan kabupaten Jepara RT 1 RW 1. Pemasalahan yang penulis akan bahas yaitu mengenai sikap toleransi antar agama, interak, serta bagaimana kerukunan antar agama itu bisa terjalin. Namun, pembahasan yang dilakukan oleh penulis bukan melalui pandangan secara umum, melainkan melalui pandangan secara khusus. Yaitu dari sudut pandang orang Kristen dari desa tersebut.
AGAMA KRISTEN
            Kristen Protestan pertama kali diperkenalkan oleh bangsa Belanda pada abad ke-16 M dengan pengaruh ajaran Calvinis dan Lutheran. Wilayah penganut animisme di wilayah Indonesia bagian Timur, dan bagian lain, merupakan tujuan utama orang-orang Belanda, termasu Maluku, Nusa Tenggara, Papua, dan Kalimantan.
            Kemudian, Kristen menyebar melalui pelabuhan pantai Borneo. Kaum misionarispun tiba di Toraja, Sulawesi. Wilayah Sumatera juga menjadi target para misionaris ketika itu, khususnya adalah orang-orang Batak, dimana banyak saat ini yang menjadi pemeluk Protestan.
A.     Kristen dan Ketuhanan
                        Agama kristen adalah sebuah kepercayaan monoteistik yang berdasar pada ajaran, hidup, sengsara, wafat, dan ebangkitan Yesus Kristus menurut Perjanjian Baru. Agama ini meyakini Yesus Kristus adalah Tuhan dan Mesias yang diramalkan dalam Perjanjian Lama, juru selamat bagi seluruh umat manusia, yang menebus manusia dari dosa. Pengikutnya beribadah di Gereja dan kitab suci mereka adalah Alkitab. Murid-murid Yesus Kristus pertama kali dipanggil Kristen Antiokhia.
                        Yesus Kristus dilahirkan sekitar tahun 4 SM di Betlehem, Yudea, dan bertumbuh dewasa di kota Nazaret, Galilea. Setelah ia berumur tiga puluh tahun, dimulailah pelayanan Yesus selama tiga tahun termasuk merekrut keduabelas rasul, melakukan mukjizat, mengusir setan, menyembuhkan orang sakit, dan membangkitkan orang mati. Yesus mati dihukum dengan cara disalib oleh karena hasutan pemimpin-pemimpin agama Yahudi yang tidak suka dengan ajaran Yesus yang dianggap bertentangan dengan ajaran mereka. Ia disalibkan di bukit Golgota, Yerusalem di antara tahun 29-33 M atas perintah Gubernur Provinsi Yudea Romawi, Pontius Pilatus. Setelah mati disalibkan, Yesus dikuburkan di dalam gua batu. Umat Kristiani percaya bahwa Yesus bangkit dari mati pada hari ketiga setelah kematiannya dan menampakkan diri pada lebih dari lima ratus saksi mata. Empat puluh hari kemudian ia naik ke surga dengan disaksikan banyak orang. Umat Kristiani juga percaya bahwa para imam Yahudi yang ketakutan menyogok para penjaga kubur untuk menyebarkan kabar bohong bahwa Yesus tidak bangkit melainkan mayatnya dicuri oleh para muridnya. Kelima hal dalam kehidupan Yesus Kristus ini (kelahiran, pelayanan, kematian, kebangkitan, kenaikan ke surga) adalah intisari kekristenan. Informasi utama tentang kehidupan Yesus berasal dari keempat Injil dan tulisan-tulisan Paulus serta murid-murid Yesus yang lain dan secara kolektif disebut buku Perjanjian Baru.
                        Kita sebagai manusia, makhluk ciptaan Tuhan tidak bisa membayangkan wajah, bentuk, dan rupa Tuhan itu seperti apa. Sekarang coba kita bayangkan, kita mempunyai ayam, ayam itu bertelur dan menetas. Suatu ketika turunlah hujan, sang induk bisa langsung lompat ke dalam kandang, sedangkan anak-anak ayam yang masih kecil tersebut belum bisa lompat ke dalam kandang. Kita sebagai pemilik ayam itu merasa kasihan terhadap anak-anak ayam itu dan ingin menolong. Apa yang akan terjadi ketika kita akan menolong? Anak-anak ayam itu pasti akan kabur, padahal niat kita baik, yaitu ingin membantu anak-anak ayam itu masuk kandang sehingga tidak kehujanan lagi. Begitu pula dengan Alah (Yesus) yang ingin menolong makhluknya yang ada di buka bumi ini. Jika Tuhan datang dengan wujud aslinya, pasti manusia akan merasa ketakutan. Oleh sebab itu, Tuhan menolong makhluknya dengan menjelma menjadi manusia yang terlahir dari rahim bunda Maria.
                        Dengan menjadi manusia, manusia lain tidak akan merasa ketakutan dan bahkan akan merasa nyaman dan senang menerima ajaran-ajarannya. Tuhan turun untuk menyelamatkan makhluknya yang senantiasa beribadah kepadanya.
                        Tuhan Yesus dianggap telah melakukan dosa besar karena telah turun kedunia dan bahkan menjadi sama seperti makhluknya. Karena itu, Yesus disalib. Salib ketika masa itu merupakan hukuman yang paling kejam. Hukuman salib itu adalah untuk menghapus dosa. Karena Yesus adalah Tuhan, maka ketika dihukum salib, dosa-dosa makhluknya juga ikut terhapuskan. Bukan hanya dosanya saja yang terhapus, melainkan dosa-dosa makhluknya dari masa lalu hingga masa Tuhan turun kembali telah terhapuskan.
                        Ketika waktu yang sudah ditentukan Tuhan, Dia akan turun ke dunia dengan membawa kebaikan dan menghukum yang bersalah dan tidak mau mengimaninya. Narasumber meyakini bahwa dia tidak akan di hukum oleh tuhan dan akan masuk surga. Karena yang mengimani Yesus termasuk dianggap anak, pengikut, maupun umat Tuhan. Sehingga siapa saja yang mengimani Tuhan Yesus, tidak akan mendapatkan hukuman apapun.
B.      Peribadatan
                        Dalam agama Kristen, kita diajarkan untuk tidak melawan kejahatan orang lain terhadap diri kita. Bahkan kita diperintahkan untuk menyerahkan pipi kita yang lain. Dunia biasanya beranggapan bahwa kejahatan orang lain itu harus dilawan dengan sekuat tenaga dan dengan cara apapun. Kita diajarkan Yesus untuk mencintai musuh-musuh kita dan berdoa memohon kebaikan bagi mereka yang mengutuk kita. Dunia mengajarkan agar sahabat kitalah yang harus kita cintai dan musuhlah yang kita benci. Kepada kita diajarkan bahwa matahari diterbitkan Tuhan bagi mereka yang bersifat adil maupun bagi yang tidak jujur. Dunia menolak hal ini, karena merasa bahwa seyogyanya matahari hanya terbit bag mereka yang adil saja. Amat menyinggung perasaan jika mereka yang jahat dapat berkeliaran tanpa mendapat hukuman dan lebih suka melihat mereka berada dalam kemurahan yang abadi. Kepada kita dikisahkan bahwa pemungut bea dan para pelacur akan lemih dahulu memasuki kerajaan surga dari pada mereka yang hanya baik secara lahiriyah belaka. Sedangkan dunia beranggapan bahwa orang baik, orang yang terhormat, orang yang mematuhi norma-norma dan tidak berbuat hal-hal yang memalukan akan berada paling depan dalam barisan menuju kerajaan surga.
                        Satu-satunya jalan untuk memahami isi nasehat-nasehat Yesus yang luar biasa mengenai bagaimana perilaku kita terhadap sesama manusia adalah dengan memandang ajaran-ajaran yang disusun berdasarkan paham tentang Tuhan yang mencintai manusia secara mutlak tanpa memperhitungkan nilai manusia itu ataupun kekurangan-kekurangannya.
                        Tuhan Yesus mengajarkan kebaikan dan bukan kekerasan. Ketika kita ditampar atau dipukul pada pipi kiri kita, kita tidak diajarkan untuk membalas mereka, melainkan memberikan pipi kita yang kanan. Itu artinya kita tidak boleh membalah keburukan dengan keburukan, kejahatan dengan kejahatan. Tapi justru kasihilah musuh-musuh kita.
                        Dalam agama Kristen diajarkan untuk memberi dan menolong kepada sesama umat manusia tanpa memandang status mereka. Baik itu miskin, beda agama dan yang lainnya. Ketika memberi kepada beda agama sering kali dianggap oleh agama lain untuk menarik simpati mereka dan dianggap sebagai taktik supaya masuk ke agama Kristen. Padahal dari umat Kristen sendiri hanya ingin memberikan bantuan dan sedekah. Tidak adanya niat yang demikian tadi.
                        Doa (salat) orang Kristen tidak memiliki aturan waktu, tempat, dan bacaannya. Tidak ada doa yang khusus dari masing-masing hari. Mungkin bedanya ketika hari senin sampai sabtu berdoa sendiri, bisa di rumah atau dimanapun. Sedangkan hari minggu berdoa bersama di Greja. Hanya itu bedanya.
                        Berdoanya orang Kristen adalah hubungan pribadi dengan Tuhan, seperti berbicara, mengeluh, curhat, cerita, dan yang lainnya kepada Tuhan. Karena seperti berbicara dengan Tuhan, kita bisa mengatakan segalanya apa yang mengganjal di hati dan fikiran kita. Sebenarnya ada alkitab yang berisi puji-pujian dan doa-doa kepada Tuhan. Tapi tidak harus terpaku untuk sama seperti isi dalam alkitab tersebut. Alkitab hanyalah sebagai contoh dan tuntunan berdoa yang baik. Sedangkan untuk prakteknya (berdoa) terserah yang berdoa.
C.        Dakwah
                        Di Kristen sebutannya bukanlah berdakwah, melainkan sebutannya misi. Intinya sama, yaitu mensi’arkan agama. Misinya yaitu, kita hanya menceritakan siapakah kita, siapakah Tuhan kita. Seperti keterangan diatas Tuhan Yesus itu begini-begini-begini. Tugas kita itu begitu. Mau orang itu percaya atau tidak itu bukan urusan kita. Mau orang itu mendengar serius atau gak suka juga terserah. Tapi tugas kita, mensi’arkannya ya seperti itu (menceritakan).
                        Dan memang ada orang-orang khusus yang tugasnya mensi’arkan itu tadi (orang-orang misi). Biasanya orang-orang misi zaman dulu (sekitar 60-an), orang-orang dari luar negeri masuk ke Indonesia memang sudah dibekali dengan ilmu si’ar. Dalam bahasa kami adalah penginjilan. Penginjilan adalah menceritakan isi Injil. Menceritakan tentang Tuhan Yesus.
                        Zaman dulu, orang Indonesia banyak yang tidak beragama (masih animisme). Menyembah dewa-dewa, roh-roh, gunung-gunung. Mungkin Islam sudah ada, tapi masih ada adat kejawen, masih menyembah keris, dan yang lainnya. Itu yang harus diluruskan. Sistem si’arnya dari zaman dulu ya sama, menceritakan agama Kristen itu.
                        Si’ar atau penginjilan merupakan tugas dari setiap orang Kristen. Bukan hanya tugas Pendeta, dan juga bukan hanya tugas yang menghususkan itu tadi. Tapi memang ada orang-orang yang diberi karomah oleh Tuhan. Kalau di Kristen bahasanya yaitu kelebihan tersendiri atau karunia. Memang ada orang yang diberi kelebihan tersendiri untuk hal-hal seperti itu (pensi’aran).
                        Jadi, yang pertama ada orang-orang yang di khususkan memang dari sananya. Itu kan tidak bisa di tolak. Seperti, mungkin mempunyai bakat menyanyi, itu kan udah dari sananya. Orang yang mempunyai karomah tersendiri pasti kemana-mana dia pergi si’ar. Yang kedua ada juga yang dibekali di sekolah. Ada sekolah-sekolah khusus yang memang mengajari hal seperti itu (si’ar). Bagaimana masuk ke daerah pedalaman Kalimantan. Pelajari dulu Kalimantan, bahasanya, karakter orangnya seperti apa, kalau kita masuk kesana harus bagaimana. Tapi secara umum, kami orang Kristen mempunyai tugas, mempunyai kewajiban untuk si’ar. Bagaimana si’arnya..? ya melalui teladan hidup kita, sikap kita dengan sesama, toleransi.
                        Dalam kitab diajarkan, jangan membalas kejahatan dengan kejahatan. Bahkan, kasihilah musuhmu. Ada istilah yang paling populer di Kristen yaitu, “kalau kamu ditampar pipi kirimu, berikanlah pipi kananmu”. Artinya adalah, kita tidak punya hak untuk membalas. Itu adalah bentuk si’ar, karena kita dasarnya kasih.
                        Jadi, si’ar bukanlah mempengaruhi orang lain atau agama lain masuk ke agama Kristen. Tidak ada unsur paksaan di dalamnya. Kita bersi’ar dengan menceritakan apa itu Kristen, bagaimana ajarannya, dan yang lain. Mau percaya, mau mengimani Kristen atau tidak itu terserah mereka.
Toleransi Agama
Menurut Manaf (1994, hal. 1), kata agama dalam bahasa Indonesia sama dengan “diin”(dari bahasa Arab) dalam bahasa Eropa disebut “religi”, religion (bahasa Inggris), la religion (bahasa Perancis), the religie (bahasa Belanda), die religion, (bahasa Jerman). Kata “diin” dalam bahasa Semit berarti undang-undang (hukum), sedang kata diin dalam bahasa Arab berarti menguasai, menundukkan, patuh, hutang, balasan, kebiasaan.
Nasution (1985, hal. 10) telah mengumpulkan delapan macam definisi agama yaitu: pertama, pengakuan terhadap adanya hubungan manusia dengan kekuatan gaib yang harus dipatuhi. Kedua, pengakuan terhadap adanya kekuatan gaib yang menguasai manusia. Ketiga, mengikatkan diri pada suatu bentuk hidup yang mengandung pengakuan pada suatu sumber yang berada di luar diri manusia dan yang mempengaruhi perbuatan-perbuatan manusia. Keempat, kepercayaan pada suatu kekuatan gaib yang menimbulkan cara hidup tertentu. Kelima, suatu sistem tingkah laku yang berasal dari suatu kekuatan gaib. Keenam, pengakuan terhadap adanya kewajiban-kewajiban yang diyakini bersumber pada suatu kekuatan gaib. Ketujuh, pemujaan terhadap kekuatan gaib yang timbul dari perasaan lemah dan perasaan takut terhadap kekuatan misterius yang terdapat dalam alam sekitar manusia. Terakhir, ajaran-ajaran yang diwahyukan Tuhan kepada manusia melalui seorang Rasul.
Anshori dalam Ghufron dan Risnawita (2010, hal. 167) membedakan antara istilah religi atau agama dengan religiusitas. Jika agama menunjuk pada aspek-aspek formal yang berkaitan dengan aturan dan kewajiban, maka religiusitas menunjuk pada aspek religi yang telah dihayati oleh seseorang dalam hati. Religiusitas sebagai keberagamaan karena adanya internalisasi agama tersebut ke dalam diri seseorang.
Agama adalah hubungan antara makhluk dengan Khalik (Tuhan) yang berwujud ibadah yang dilakukan dalam sikap kesehariaannya. Arti agama secara detail bahwa agama sebagai suatu sistem credo (tata keyakinan) atas adanya Yang Maha Mutlak dan suatu sistem norma (tata kaidah) yang mengatur hubungan manusia dengan sesama manusia dan dengan alam sekitarnya, sesuai dengan tata keimanan dan tata peribadatan tersebut (Ghufron dan Risnawita, 2010, hal. 167).
Pargament (dalam Ghufron dan Risnawita, 2015, hal. 58) mendefinisikan agama dalam arti luas dan multidimensi termasuk ekspresi keagamaan institusional, seperti dogma dan ritual, dan ekspresi keagamaan, seperti perasaan spiritualitas, keyakinan tentang yang suci, dan agama adalah praktek.
Dari berbagai pendapat di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa agama menunjuk pada tingkat keterikatan individu terhadap agamanya. Hal ini menunjukkan bahwa individu telah menghayati dan menginternalisasikan ajaran agamanya sehingga berpengaruh dalam segala tindakan dan pandangan hidupnya.
Sementara berkatan tentang toleransi, Secara etimologi berasal dari kata tolerance (dalam bahasa Inggris) yang berarti sikap membiarkan, mengakui dan menghormati keyakinan orang lain tanpa memerlukan persetujuan. Di dalam bahasa Arab dikenal dengan tasamuh, yang berarti saling mengizinkan, saling memudahkan (Al-Munawar, 1987, hal. 13). Adapun menurut Webster’s New American Dictionary arti tolerance adalah liberty toward the opinions of others, patience with others yang kalau diterjemahkan ke dalam Bahasa Indonesia artinya adalah memberi kebebasan (membiarkan) pendapat orang lain, dan berlaku sabar menghadapi orang lain (Puslitbang Kehidupan Keagamaan Badan Litbang dan Diklat Kementerian Agama RI, 2010, hal. 51). Jadi toleransi adalah sikap lapang dada terhadap prinsip orang lain, tidak berarti seseorang harus mengorbankan kepercayaan atau prinsip yang dianutnya melainkan harus tercermin sikap yang kuat atau istiqamah untuk memegangi keyakinan atau pendapatnya sendiri.
Khisbiyah (2007, hal. 4) berpendapat bahwa toleransi adalah kemampuan untuk menahankan hal-hal yang tidak kita setujui atau tidak kita sukai, dalam rangka membangun hubungan sosial yang lebih baik. Toleransi mensyaratkan adanya penerimaan dan penghargaan terhadap pandangan, keyakinan, nilai, serta praktik orang/kelompok lain yang berbeda dengan kita. Intoleransi adalah ketidakmampuan atau ketidakmauan untuk bertoleran, muncul karena kita tidak bisa atau tidak mau menerima dan menghargai perbedaan. Intoleransi bisa terjadi pada tataran hubungan interpersonal, seperti hubungan antara kakak dan adik, orangtua dan anak, suami dan isteri, antarteman, atau antarkelompok, misalnya suku, agama, bangsa, dan ideologi.
Menurut Puslitbang Kehidupan Keagamaan Badan Litbang dan Diklat Kementerian Agama RI, (2010, hal. 57) yang mengutip dari Ensiklopedi Nasional Indonesia menjelaskan bahwa, toleransi beragama adalah sikap bersedia menerima keanekaragaman dan kebebasan beragama yang dianut dan kepercayaan yang diyakini oleh pihak atau golongan lain. Hal ini dapat terjadi karena keberadaan dan eksistensi suatu golongan, agama atau kepercayaan, diakui atau dihormati oleh pihak lain. Pengakuan tersebut tidak terbatas pada persamaan derajat, baik dalam tatanan kenegaraan, tatanan kemasyarakatan maupun di hadapan Tuhan Yang Maha Esa, tetapi juga perbedaan-perbedaan dalam cara penghayatan dan peribadatannya yang sesuai dengan alasan kemanusiaan yang adil dan beradab. Dalam toleransi ini semua umat beragama harus berpegang pada prinsip agree in disagreement (setuju dalam perbedaan).
Prinsip mengenai toleransi antar umat beragama yaitu: (1) tidak boleh ada paksaan dalam beragama baik paksaan itu berupa halus maupun dilakukan secara kasar; (2) manusia berhak untuk memilih dan memeluk agama yang diyakininya dan beribadat menurut keyakinan itu; (3) tidak akan berguna memaksa seseorang agar mengikuti suatu keyakinan tertentu ; dan (4) Tuhan Yang Maha Esa tidak melarang hidup bermasyarakat dengan yang tidak sefaham atau tidak seagama, dengan harapan menghindari sikap saling bermusuhan (Ali, 1986; 82).
Al-Qardhawi (1985, hal. 95-97) berpendapat bahwa toleransi sebenarnya tidaklah bersifat pasif, tetapi dinamis. Sehubungan hal tersebut, al-Qardhawi mengategorikan toleransi keagamaan dalam tiga tingkatan. Pertama, toleransi dalam bentuk hanya sebatas memberikan kebebasan kepada orang lain untuk memeluk agama yang diyakininya, tetapi tidak memberinya kesempatan untuk melaksanakan tugas-tugas keagamaan yang diwajibkan atas dirinya. Kedua, memberinya hak untuk memeluk agama yang diyakininya, kemudian tidak memaksanya mengerjakan sesuatu sebagai larangan dalam agamanya. Ketiga, tidak mempersempit gerak mereka dalam melakukan hal-hal yang menurut agamanya halal, meskipun hal tersebut diharamkan menurut agama kita.
Bentuk toleransi yang harus ditegakkan yaitu: (1) toleransi agama dan (2) toleransi sosial. Toleransi agama adalah toleransi yang menyangkut keyakinan yang berhubungan dengan akidah yaitu sikap lapang dada untuk memberi kesempatan pemeluk agama selain Islam beribadah menurut ketentuan agama yang diyakininya. Sedangkan, toleransi sosial berorientasi terhadap toleransi kemasyarakatan. Dalam masyarakat yang beragam karena perbedaan agama dianjurkan untuk menegakkan kedamaian dan melakukan kerjasama dengan orang-orang yang berlainan agama dalam batas-batas yang telah ditentukan.
Dengan adanya toleransi maka akan dapat melestarikan persatuan dan kesatuan bangsa, mendukung dan menyukseskan pembangunan, serta menghilangkan kesenjangan. Hubungan antar umat beragama didasarkan pada prinsip persaudaraan yang baik, bekerjasama untuk menghadapi musuh dan membela golongan yang menderita.
Toleransi memungkinkan orang untuk memperlakukan orang lain dengan hormat dan bermartabat, memisahkan orang lain dari keyakinan dan praktik sejauh diperlakukan dengan ketidakberpihakan, dan individu dihargai sebagai sesama manusia.
Berdasarkan Penjelasan di atas dapat disimpulkan bahwa toleransi beragama adalah kesadaran seseorang untuk menghargai, menghormati, membiarkan, dan membolehkan pendirian, pandangan, keyakinan, kepercayaan, serta memberikan ruang bagi pelaksanaan kebiasaan, perilaku, dan praktik keagamaan orang lain yang berbeda atau bertentangan dengan pendirian sendiri dalam rangka membangun kehidupan bersama dan hubungan sosial yang lebih baik.
Kerukunan Antar Umat Beragama
Kerukunan (dari ruku, bahasa Arab, artinya tiang atau tiang-tiang yang menopang rumah; penopang yang memberi kedamain dan kesejahteraan kepada penghuninya) secara luas bermakna adanya suasana persaudaraan dan kebersamaan antar semua orang walaupun mereka berbeda secara suku, agama, ras, dan golongan. Kerukunan juga bisa bermakna suatu proses untuk menjadi rukun karena sebelumnya ada ketidakrukunan; serta kemampuan dan kemauan untuk hidup berdampingan dan bersama dengan damai serta tenteram. Langkah-langkah untuk mencapai kerukunan seperti itu, memerlukan proses waktu serta dialog, saling terbuka, menerima dan menghargai sesama, serta cinta-kasih.
Sedangkan kerukunan umat beragama yaitu hubungan sesama umat beragama yang dilandasi dengan toleransi, saling pengertian, saling menghormati, saling menghargai dalam kesetaraan pengamalan ajaran agamanya dan kerja sama dalam kehidupan masyarakat dan bernegara. Umat beragama dan pemerintah harus melakukan upaya bersama dalam memelihara kerukunan umat beragama, di bidang pelayanan, pengaturan dan pemberdayaan. Sebagai contoh yaitu dalam mendirikan rumah ibadah harus memperhatikan pertimbangan Ormas keagamaan yang berbadan hokum dan telah terdaftar di pemerintah daerah.
Pemeliharaan kerukunan umat beragama baik di tingkat Daerah, Provinsi, maupun Negara pusat merupakan kewajiban seluruh warga Negara beserta instansi pemerinth lainnya. Lingkup ketentraman dan ketertiban termasuk memfalisitasi terwujudnya kerukunan umat beragama, mengkoordinasi kegiatan instnsi vertical, menumbuh kembangkan keharmonisan saling pengertian, saling menghormati, saling percaya diantara umat beragama, bahkan menerbitkan rumah ibadah.
Sesuai dengan tingkatannya Forum Kerukunan Umat Beragama dibentuk di Provinsi dan Kabupaten. Dengan hubungan yang bersifat konsultatif dengan tugas melakukan dialog dengan pemuka agama dan tokoh-tokoh masyarakat, menampung aspirasi Ormas keagamaan dan aspirasi masyarakat, menyalurkan aspirasi dalam bentuk rekomendasi sebagai bahan kebijakan.
Kerukunan antar umat beragama dapat diwujudkan dengan :
1. Saling tenggang rasa, saling menghargai, toleransi antar umat beragama
2. Tidak memaksakan seseorang untuk memeluk agama tertentu
3. Melaksanakan ibadah sesuai agamanya, dan mematuhi peraturan.
Jenis – Jenis Kerukunan Antar Umat Beragama
a) Kerukunan antar pemeluk agama yang sama, yaitu suatu bentuk kerukunan yang terjalin antar masyarakat penganut satu agama. Misalnya, kerukunan sesama orang Islam atau kerukunan sesama penganut Kristen. Kerukunan antar pemeluk agama yang sama juga harus dijaga agar tidak terjadi perpecahan dan paham-paham baru yang menyimpang dari konsep agama tersebut, walaupun sebenarnya dalam hal ini sangat minim sekali terjadi konflik.
b) Kerukunan antar umat beragama lain, yaitu suatu bentuk kerukunan yang terjalin antar masyarakat yang memeluk agama berbeda-beda. Misalnya, kerukunan antar umat Islam dan Kristen, antara pemeluk agama Kristen dan Budha, atau kerukunan yang dilakukan oleh semua agama. Kerukunan antar umat beragama lain ini cukup sulit untuk dijaga. Seringkali terjadi konflik antar pemeluk agama yang berbeda.

Manfaat Kerukunan Antar Umat Beragama
 Terciptanya suasana yang damai dalam bermasyarakat
 Toleransi antar umat Beragama meningkat
 Menciptakan rasa aman bagi agama – agama minoritas dalam melaksanakan ibadahnya masing masing
 Meminimalisir konflik yang terjadi yang mengatasnamakan Agama.
Kendala-Kendala Kerukunan Antar Umat Beragama
1) Rendahnya Sikap Toleransi
Menurut Dr. Ali Masrur, M.Ag, salah satu masalah dalam komunikasi antar agama sekarang ini, khususnya di Indonesia, adalah munculnya sikap toleransi malas-malasan (lazy tolerance) sebagaimana diungkapkan P. Knitter. Sikap ini muncul sebagai akibat dari pola perjumpaan tak langsung (indirect encounter) antar agama, khususnya menyangkut persoalan teologi yang sensitif. Sehingga kalangan umat beragama merasa enggan mendiskusikan masalah-masalah keimanan. Tentu saja, dialog yang lebih mendalam tidak terjadi, karena baik pihak yang berbeda keyakinan/agama sama-sama menjaga jarak satu sama lain. Masing-masing agama mengakui kebenaran agama lain, tetapi kemudian membiarkan satu sama lain bertindak dengan cara yang memuaskan masing-masing pihak. Yang terjadi hanyalah perjumpaan tak langsung, bukan perjumpaan sesungguhnya. Sehingga dapat menimbulkan sikap kecurigaan diantara beberapa pihak yang berbeda agama, maka akan timbullah yang dinamakan konflik.
2) Kepentingan Politik
Faktor Politik terkadang menjadi faktor penting sebagai kendala dalam mencapai tujuan sebuah kerukunan antar umat beragama khususnya di Indonesia, jika bukan yang paling penting di antara faktor-faktor lainnya. Bisa saja sebuah kerukunan antar agama telah dibangun dengan bersusah payah selama bertahun-tahun atau mungkin berpuluh-puluh tahun, dan dengan demikian kita pun hampir memetik buahnya. Namun tiba-tiba saja muncul kekacauan politik yang ikut memengaruhi hubungan antaragama dan bahkan memorak-porandakannya seolah petir menyambar yang dengan mudahnya merontokkan “bangunan dialog” yang sedang kita selesaikan. Seperti yang sedang terjadi di negeri kita saat ini, kita tidak hanya menangis melihat political upheavels di negeri ini, tetapi lebih dari itu yang mengalir bukan lagi air mata, tetapi darah; darah saudara-saudara kita, yang mudah-mudahan diterima di sisi-Nya. Tanpa politik kita tidak bisa hidup secara tertib teratur dan bahkan tidak mampu membangun sebuah negara, tetapi dengan alasan politik juga kita seringkali menunggangi agama dan memanfaatkannya.
3) Sikap Fanatisme
Di kalangan Islam, pemahaman agama secara eksklusif juga ada dan berkembang. Bahkan akhir-akhir ini, di Indonesia telah tumbuh dan berkembang pemahaman keagamaan yang dapat dikategorikan sebagai Islam radikal dan fundamentalis, yakni pemahaman keagamaan yang menekankan praktik keagamaan tanpa melihat bagaimana sebuah ajaran agama seharusnya diadaptasikan dengan situasi dan kondisi masyarakat. Mereka masih berpandangan bahwa Islam adalah satu-satunya agama yang benar dan dapat menjamin keselamatan menusia. Jika orang ingin selamat, ia harus memeluk Islam. Segala perbuatan orang-orang non-Muslim, menurut perspektif aliran ini, tidak dapat diterima di sisi Allah.
Pandangan-pandangan semacam ini tidak mudah dikikis karena masing-masing sekte atau aliran dalam agama tertentu, Islam misalnya, juga memiliki agen-agen dan para pemimpinnya sendiri-sendiri. Islam tidak bergerak dari satu komando dan satu pemimpin. Ada banyak aliran dan ada banyak pemimpin agama dalam Islam yang antara satu sama lain memiliki pandangan yang berbeda-beda tentang agamanya dan terkadang bertentangan. Tentu saja, dalam agama Kristen juga ada kelompok eksklusif seperti ini. Kelompok Evangelis, misalnya, berpendapat bahwa tujuan utama gereja adalah mengajak mereka yang percaya untuk meningkatkan keimanan dan mereka yang berada “di luar” untuk masuk dan bergabung. Bagi kelompok ini, hanya mereka yang bergabung dengan gereja yang akan dianugerahi salvation atau keselamatan abadi. Dengan saling mengandalkan pandangan-pandangan setiap sekte dalam agama teersebut, maka timbullah sikap fanatisme yang berlebihan.
Pandangan Kerukunan Antar Umat Beragama dari Alkitab
Pandangan Agama Kristen mengenai kerukunan antar umat beragama dapat dilihat dari kasih Yesus yang mengasihi sesama dan bahkan terhadap musuh (Matius 5:44). Pandangan eksklusif mengenai agama Kristen tidak boleh mempengaruhi umat untuk membedakan perlakuan kasih antara Kristen dengan agama lainnya dan tidak menganggapnya sebagai musuh, melainkan melihat mereka sebagai ‘korban’ dan membutuhkan berkat dan keselamatan yang sama dengan umat Kristen. Tuhan Yesus mengajari kita untuk mengasihi sesama manusia yang tertulis pada Markus 12:29-31.
Solusi Masalah Kerukunan Antar Umat Beragama
1) Dialog Antar Pemeluk Agama
Sejarah perjumpaan agama-agama yang menggunakan kerangka politik secara tipikal hampir keseluruhannya dipenuhi pergumulan, konflik dan pertarungan. Karena itulah dalam perkembangan ilmu sejarah dalam beberapa dasawarsa terakhir, sejarah yang berpusat pada politik yang kemudian disebut sebagai “sejarah konvensional” dikembangkan dengan mencakup bidang-bidang kehidupan sosial-budaya lainnya, sehingga memunculkan apa yang disebut sebagai “sejarah baru” (new history). Sejarah model mutakhir ini lazim disebut sebagai “sejarah sosial” (social history) sebagai bandingan dari “sejarah politik” (political history). Penerapan sejarah sosial dalam perjumpaan Kristen dan Islam di Indonesia akan sangat relevan, karena ia akan dapat mengungkapkan sisi-sisi lain hubungan para penganut kedua agama ini di luar bidang politik, yang sangat boleh jadi berlangsung dalam saling pengertian dan kedamaian, yang pada gilirannya mewujudkan kehidupan bersama secara damai (peaceful co-existence) di antara para pemeluk agama yang berbeda.
Hampir bisa dipastikan, perjumpaan Kristen dan Islam (dan juga agama-agama lain) akan terus meningkat di masa-masa datang. Sejalan dengan peningkatan globalisasi, revolusi teknologi komunikasi dan transportasi, kita akan menyaksikan gelombang perjumpaan agama-agama dalam skala intensitas yang tidak pernah terjadi sebelumnya. Dengan begitu, hampir tidak ada lagi suatu komunitas umat beragama yang bisa hidup eksklusif, terpisah dari lingkungan komunitas umat-umat beragama lainnya. Satu contoh kasus dapat diambil: seperti dengan meyakinkan dibuktikan Eck (2002), Amerika Serikat, yang mungkin oleh sebagian orang dipandang sebagai sebuah “negara Kristen,” telah berubah menjadi negara yang secara keagamaan paling beragam. Indonesia, dalam batas tertentu, mungkin juga dapat mengalami kecenderungan yang sama. Sebagian besar perjumpaan di antara agama-agama itu, khususnya agama yang mengalami konflik, bersifat damai.
Dalam waktu-waktu tertentu―ketika terjadi perubahan-perubahan politik dan sosial yang cepat, yang memunculkan krisis― pertikaian dan konflik sangat boleh jadi meningkat intensitasnya. Tetapi hal ini seyogyanya tidak mengaburkan perspektif kita, bahwa kedamaian lebih sering menjadi feature utama. Kedamaian dalam perjumpaan itu, hemat saya, banyak bersumber dari pertukaran (exchanges) dalam lapangan sosio-kultural atau bidang-bidang yang secara longgar dapat disebut sebagai “non-agama.” Bahkan terjadi juga pertukaran yang semakin intensif menyangkut gagasan-gagasan keagamaan melalui dialog-dialog antaragama dan kemanusiaan baik pada tingkat domestik di Indonesia maupun pada tingkat internasional; ini jelas memperkuat perjumpaan secara damai tersebut. Melalui berbagai pertukaran semacam ini terjadi penguatan saling pengertian dan, pada gilirannya, kehidupan berdampingan secara damai.
2) Bersikap Optimis
Walaupun berbagai hambatan menghadang jalan kita untuk menuju sikap terbuka, saling pengertian dan saling menghargai antaragama, saya kira kita tidak perlu bersikap pesimis. Sebaliknya, kita perlu dan seharusnya mengembangkan optimisme dalam menghadapi dan menyongsong masa depan dialog.
Paling tidak ada tiga hal yang dapat membuat kita bersikap optimis. Pertama, pada beberapa dekade terakhir ini studi agama-agama, termasuk juga dialog antaragama, semakin merebak dan berkembang di berbagai universitas, baik di dalam maupun di luar negeri. Selain di berbagai perguruan tinggi agama, IAIN dan Seminari misalnya, di universitas umum seperti Universitas Gajah Mada, juga telah didirikan Pusat Studi Agama-agama dan Lintas Budaya. Meskipun baru seumur jagung, hal itu bisa menjadi pertanda dan sekaligus harapan bagi pengembangan paham keagamaan yang lebih toleran dan pada akhirnya lebih manusiawi. Juga bermunculan lembaga-lembaga kajian agama, seperti Interfidei dan FKBA di Yogyakarta, yang memberikan sumbangan dalam menumbuhkembangkan paham pluralisme agama dan kerukunan antar penganutnya.
Kedua, para pemimpin masing-masing agama semakin sadar akan perlunya perspektif baru dalam melihat hubungan antar-agama. Mereka seringkali mengadakan pertemuan, baik secara reguler maupun insidentil untuk menjalin hubungan yang lebih erat dan memecahkan berbagai problem keagamaan yang tengah dihadapi bangsa kita dewasa ini. Kesadaran semacam ini seharusnya tidak hanya dimiliki oleh para pemimpin agama, tetapi juga oleh para penganut agama sampai ke akar rumput sehingga tidak terjadi jurang pemisah antara pemimpin agama dan umat atau jemaatnya. Kita seringkali prihatin melihat orang-orang awam yang pemahaman keagamaannya bahkan bertentangan dengan ajaran agamanya sendiri. Inilah kesalahan kita bersama. Kita lebih mementingkan bangunan-bangunan fisik peribadatan dan menambah kuantitas pengikut, tetapi kurang menekankan kedalaman (intensity) keberagamaan serta kualitas mereka dalam memahami dan mengamalkan ajaran agama.
Ketiga, masyarakat kita sebenarnya semakin dewasa dalam menanggapi isu-isu atau provokasi-provokasi. Mereka tidak lagi mudah disulut dan diadu-domba serta dimanfaatkan, baik oleh pribadi maupun kelompok demi target dan tujuan politik tertentu. Meskipun berkali-kali masjid dan gereja diledakkan, tetapi semakin teruji bahwa masyarakat kita sudah bisa membedakan mana wilayah agama dan mana wilayah politik. Ini merupakan ujian bagi agama autentik (authentic religion) dan penganutnya. Adalah tugas kita bersama, yakni pemerintah, para pemimpin agama, dan masyarakat untuk mengingatkan para aktor politik di negeri kita untuk tidak memakai agama sebagai instrumen politik dan tidak lagi menebar teror untuk mengadu domba antarpenganut agama.
Jika tiga hal ini bisa dikembangkan dan kemudian diwariskan kepada generasi selanjutnya, maka setidaknya kita para pemeluk agama masih mempunyai harapan untuk dapat berkomunikasi dengan baik dan pada gilirannya bisa hidup berdampingan lebih sebagai kawan dan mitra daripada sebagai lawan.
Cara Menjaga Kerukunan Antar Umat Beragama
·         Menjunjung tinggi toleransi antar umat Beragama di Indonesia. Baik yang merupakan pemeluk Agama yang sama, maupun dengan yang berbeda Agama. Rasa toleransi bisa berbentuk dalam macam-macam hal. Misalnya seperti, pembangunan tempat ibadah oleh pemerintah, tidak saling mengejek dan mengganggu umat lain dalam interaksi sehari – harinya, atau memberi waktu pada umat lain untuk beribadah bila memang sudah waktunya mereka melakukan ibadah. Banyak hal yang bisa dilakukan untuk menunjukkan sikap toleransi. Hal ini sangat penting demi menjaga tali kerukunan umat beragama di Indonesia, karena jika rasa toleransi antar umat beragama di Indonesia sudah tinggi, maka konflik – konflik yang mengatasnamakan Agama di Indonesia dengan sendirinya akan berkurang ataupun hilang sama sekali.
·         Selalu siap membantu sesama dalam keadaan apapun dan tanpa melihat status orang tersebut. Jangan melakukan perlakuan diskriminasi terhadap suatu agama, terutama saat mereka membutuhkan bantuan. Misalnya, di suatu daerah di Indonesia mengalami bencana alam. Mayoritas penduduknya adalah pemeluk agama Kristen. Bagi Anda yang memeluk agama lain, jangan lantas malas dan enggan untuk membantu saudara sebangsa yang sedang kesusahan hanya karena perbedaan agama. Justru dengan membantu mereka yang kesusahan, kita akan mempererat tali persaudaraan sebangsa dan setanah air kita, sehingga secara tidak langsung akan memperkokoh persatuan Indonesia.
·         Hormatilah selalu orang lain tanpa memandang Agama apa yang mereka anut. Misalnya dengan selalu berbicara halus dan sopan kepada siapapun. Biasakan pula untuk menomor satukan sopan santun dalam beraktivitas sehari harinya, terlebih lagi menghormati orang lain tanpa memandang perbedaan yang ada. Hal ini tentu akan mempererat kerukunan umat beragama di Indonesia.
·         Bila terjadi masalah yang membawa nama agama, tetap selesaikan dengan kepala dingin dan damai, tanpa harus saling tunjuk dan menyalahkan. Para pemuka agama, tokoh masyarakat, dan pemerintah sangat diperlukan peranannya dalam pencapaian solusi yang baik dan tidak merugikan pihak – pihak manapun, atau mungkin malah menguntungkan semua pihak. Hal ini diperlukan karena di Indonesia ini masyarakatnya sangat beraneka ragam.
Metode Penelitian
            Metode penelitian yang digunakan adalah dengan wawancara dan internet. Wawancara yang dilakukan oleh peneliti adalah dengan mendatangi narasumber. Hari kamis 24 November 2016 pukul 13.34 datang ke sekolah SMAN 2 Welahan menemui narasumber dan membuat janji untuk menentukan waktu wawancara.
            Setelah maghrib sekitar pukul 18.15 mendatangi rumah narasumber yang bernama Lupiyanti Lidiya Reynilda (55) Jl. Gotri Welahan Jepara Rt 1 Rw 1. Setelah mendapatkan hasil, tak lama kemudian menuju narasumber yang berikutnya. Tidak jauh dari tempat narasumber yang pertama yaitu sekitar 40 meter, tempat tinggal pendeta setempat yang bernama Kuswidado (41). Selesai wawancara sekitar pukul 21.05.
Hasil Penelitian
            Berdasarkan hasil penelitian ini adalah, toleransi sangatlah mereka pegang teguh. Bahkan dalam penyebaran agama yang mereka lakukan tanpa adanya kekerasan dan paksaan. Dan juga mereka ketika memberi, tidak ada niat atau sebuah taktik supaya orang-orang masuk agama Kristen.
            Sebagai warga Indonesia yang memang beraneka ragam, terutama pada agama, mereka berpandangan tidak ada gunanya saling berselisih. Bahkan mereka berpendapat, kita sebagai umat harus saling membantu sama lainnya tanpa harus memandang apapun. Apalagi dalam hal agama. Karena adakalanya antara agama yang satu dengan yang satu pasti akan saling membutuhkan.
Dokumentasi





Simpulan
            Berdasarkan hasil penelitian ini, maka dapat disimpulkan bahwa kita sebagai warga Indonesia yang memiliki berbagai macam suku, budaya, bahasa, bahkan agama, memiliki sikap toleransi cukup baik. Terutama dalam hal agama. Meskipun antara agama yang satu dengan yang lain berbeda, tapi sebagai manusia tidak bisa menghindari bahwa kita saling membutuhkan satu sama lainnya.

Referensi
Hasil wawancara dengan Pendeta, Kuswidado. Kamis 24 november 2016, 19:23 wib. Jepara
Hasil presentasi kelompok 7, agama Kristen, sistem keberagamaan, 22 november 2016
Hasil wawancara dengan warga, Lupiyanti Lidiya Reynilda. Kamis 24 november 2016, 18:20 wib. Jepara